Selasa, 24 Juli 2018

PERSEROAN TERBATAS





APA ITU PERSEROAN TERBATAS


Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Selanjutnya disebut UUPT) mendefinisikan Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Untuk menjalankan Perseroan terbatas berlaku UUPT, anggaran dasar Perseroan dan ketentuan perundang-undangan lainnya. Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.

Perseroan diwajibkan mempunyai nama dan tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia yang dituangkan dalam Anggaran Dasar, mempunyai alamat lengkap sesuai dengan tempat kedudukannya.  Dan dalam surat-menyurat, pengumuman yang diterbitkan oleh Perseroan, barang cetakan, dan akta dalam hal Perseroan menjadi pihak harus menyebutkan nama dan alamat lengkap Perseroan.



SIAPA SAJAKAH ORGAN PERSEROAN


Organ Perseroan terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Berikut Kami uraikan mengenai definisi, wewenang dan penyelenggaraan RUPS dan siapa saja yang dapat diangkat sebagai Direksi dan Dewan Komisaris.


RUPS
Direksi
Dewan Komisaris
Definisi
Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
Wewenang
1.  RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
2.  Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan.
3.  RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan, kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui penambahan mata acara rapat.
4.  Keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan harus disetujui dengan suara bulat.


1.     Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
2.     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila: a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

3.     Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
4.     Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UndangUndang ini dan/atau anggaran dasar.
5.     Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih.
6.     Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
7.     Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.
8.     Dalam hal RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak menetapkan, pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi.
1.     Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.
2.     Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
3.     Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih.
4.     Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.
5.     Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris.

Syariah
1.     Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah.
2.     Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
3.     Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.

Penyelenggaraan RUPS dan Siapa saja yang dapat diangkat sebagai Direksi dan Dewan Komisaris
1.     RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.
2.     RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan.
3.     Tempat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terletak di wilayah negara Republik Indonesia.
4.     Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakan di manapun dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengambil keputusan jika keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat

1.     Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
2.     Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
3.     Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4.     Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.

1.     Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah: a. dinyatakan pailit; b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.
2.     Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3.     Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan.
1.     Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah: a. dinyatakan pailit; b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.
2.     Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3.     Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan.



ANGGARAN DASAR


Anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya: a. nama dan tempat kedudukan Perseroan; b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; c. jangka waktu berdirinya Perseroan; d. besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; e. jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham; f. nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris; g. penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; h. tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris; i. tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, anggaran dasar dapat juga memuat ketentuan lain yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Anggaran dasar tidak boleh memuat ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham dan ketentuan tentang pemberian manfaat pribadi kepada pendiri atau pihak lain.

Perseroan tidak boleh memakai nama yang: a. telah dipakai secara sah oleh Perseroan lain atau sama pada pokoknya dengan nama Perseroan lain; b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan; c. sama atau mirip dengan nama lembaga negara, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional, kecuali mendapat izin dari yang bersangkutan; d. tidak sesuai dengan maksud dan tujuan, serta kegiatan usaha, atau menunjukkan maksud dan tujuan Perseroan saja tanpa nama diri; e. terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata; atau f. mempunyai arti sebagai Perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata.

Nama Perseroan harus didahului dengan frase "Perseroan Terbatas" atau disingkat "PT". Dalam hal Perseroan Terbuka selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud tersebut, pada akhir nama Perseroan ditambah kata singkatan "Tbk". Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemakaian nama Perseroan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar. Tempat kedudukan sebagaimana dimaksud tersebut sekaligus merupakan kantor pusat Perseroan. Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang dicantumkan dalam anggaran dasar Perseroan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



MODAL DAN SAHAM DALAM PERSEROAN


Modal
Modal Perseroan Terbatas terdiri dari Modal Dasar, Modal Ditempatkan dan Modal Disetor. Modal tersebut terbagi atas sekumpulan saham.

Modal Dasar
Modal Ditempatkan
Modal Disetor

Modal Dasar terdiri dari seluruh nilai nominal saham. Menurut Undang-undang perseroan Terbatas (UUPT), besarnya Modal Dasar adalah minimal Rp. 50.000.000 – undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal perseroan yang lebih besar dari Rp. 50.000.000. Modal Dasar bukan merupakan modal riil, karena Modal Dasar hanya menentukan sampai seberapa kuat perusahaan tersebut dapat menyediakan modalnya – sampai seberapa besar perusahaan tersebut mampu menghimpun aset-aset dan kekayaannya.

Modal ditempatkan adalah sebagian dari modal dasar yang telah disanggupi untuk diambil para pendiri atau para pemegang saham perseroan dalam bentuk saham, sehingga mereka mempunyai kewajiban untuk membayar atau melakukan penyetoran kepada perseroan. Pasal 26 ayat (1) UU PT menentukan bahwa pada saat pendirian PT, minimal 25 % dari modal dasar harus sudah ditempatkan.
Modal disetor adalah sejumlah modal yang benar-benar ada dalam kas PT. Pasal 26 ayat (2) UU PT menentukan bahwa setiap penempatan modal tersebut, 50% (lima puluh persen) dari nilai nominal setiap saham yang dikeluarkan harus telah disetor. Pasal 26 ayat (3) UU PT menegaskan bahwa sisa dana (50% lagi) atau seluruh saham yang telah dikeluarkan harus sudah disetor penuh pada saat pengesahanPT oleh Menteri Kehakiman RI dengan bukti penyetoran yang sah.

Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya. Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain, penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan. Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut.

Perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki oleh Perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan. Ketentuan larangan kepemilikan saham tersebut tidak berlaku terhadap kepemilikan saham yang diperoleh berdasarkan peralihan karena hukum, hibah, atau hibah wasiat.

Saham yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah tanggal perolehan harus dialihkan kepada pihak lain yang tidak dilarang memiliki saham dalam Perseroan. Dalam hal Perseroan lain merupakan perusahaan efek, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Penambahan Modal
Penambahan modal perseroan, berupa penambahan modal dasar, modal ditempatkan atau modal disetor, hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan RUPS yang sah serta dilaksanakan sesuai dengan keputusan mengenai panggilan rapat, kuorum, dan jumlah suara untuk perubahan Anggaran Dasar.

Dalam Anggaran Dasar menentukan bahwa seluruh saham yang dikeluarkan dalam penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham dan harus seimbang dengan kepemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama (proportionally).

Apabila pemegang saham tidak menggunakan hak untuk membeli saham tersebut setelah lewat waktu 14 (empatbelas) hari terhitung sejak penawaran, maka perseroan berhak menawarkan kepada karyawan sebelum menawarkan kepada orang lain dengan memberi jumlah tertentu atas saham tersebut. Ketentuan mengenai saham yang ditawarkan kepada karyawan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pengurangan Modal
Pengurangan Modal adalah pengurangan modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan RUPS serta dilaksanakan sesuai dengan keputusan mengenai panggilan rapat, kuorum, dan jumlah suara untuk perubahan Anggaran Dasar.

Direksi wajib memberitahukan pengurangan modal tersebut secara tertulis kepada semua kreditor dan mengumumkannya dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia serta dalam 2 (dua) surat kabar harian paling lambat 7 (tujuh) hariterhitung sejak tanggal keputusan.

Pengurangan modal berlaku setelah Perubahan Anggaran Dasar mendapatpersetujuan Menteri Kehakiman dan harus didaftarkan dalam Daftar Perusahaandi Kantor Pendaftaran Perusahaan serta diumumkan dalam Tambahan BeritaNegara RI (Pasal 21 dan Pasal 22 UU PT).

Saham
Saham merupakan salah satu unsure yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah Perseroan Terbatas. Saham merupakan tanda penyertaan modal dalam suatu perusahaan (PT) sebagai tanda bukti kepemilikan modal. Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) UUPT, saham tersebut dikeluarkan atas nama pemilikinya sehingga menjadi tanda bukti kepemilikan atas saham suatu PT. Pihak yang akan atau ingin memiliki saham harus mememuhi persyaratan kepemilikan saham yang dapat ditetapkan dalam anggaran dasar PT tersebut dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika dalam hal pesyaratan kepemilikan saham telah ditetapkan dan tidak terpenuhi, pihak yang memperoleh kepemilikan saham tersebut tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan saham tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum yang harus dicapai sesuai dengan ketentuan UUPT dan/atau anggaran dasar; yang dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 48 ayat (2) dan (3) UUPT.
Tingkat kepemilikan dilihat dari jumlah prosentase saham yang dimana setiap saham telah terscantum nominal saham tersebut. Berdasarkan Pasal 49 UUPT, nilai nominal suatu saham harus dicantumkan dalam mata uang rupiah, saham tanpa nilai nominal tidak dapat dikeluarkan. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan diaturnya pengeluaran saham tanpa nilai nominal dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Kepemilikan atas suatu saham, memberikan hak pada pemilik saham. Hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UUPT, yakni:
1.     Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
2.     Menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi:
3.     Menjalankan hak lain berdasarkan UUPT

Hak tersebut di atas baru berlaku setelah dicatat dalam daftar pemegang saham atas nama pemiliknya. Setiap saham memberikan kepada pemiliknya hak yang tidak dapat dibagi. Dalam hal satu saham dimiliki oleh lebih dari satu orang, hak yang timbul dari saham tersebut dengan cara menunjuk satu orang sebagai wakil bersama. Hal-hal tersebut diatur dalam Pasal 52 ayat (2) sampai dengan ayat (5) UUPT.

Berdasarkan Pasal 53 UUPT, anggaran dasar menetapkan satu klasifikasi saham atau lebih. Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada pemegang hak yang sama. Namun, dalam hal terdapat lebih dari satu klasifikasi saham, anggaran dasar menetapkan salah satu di antaranya sebagai saham biasa. Klasifikasi saham sebagaimana dimaksud di atas (lebih dari satu klasifikasi) antara lain:
1.     Saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;
2.     Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris;
3.     Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain;
4.     Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima deviden terlebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian deviden secara kumulatif atau non kumulatif;
5.     Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan perseroan dalam likuidasi.



PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS


Bilamana seseorang akan mendirikan perseroan terbatas, maka para pendiri, yang biasanya terdiri dari 2 orang atau lebih, melakukan perbuatan hukum sebagai yang tersebut di bawah ini :
  1. Para pendiri datang di kantor notaris untuk diminta dibuatkan akta pendirian Perseroan Terbatas. Yang disebut akta pendirian itu termasuk di dalamnya anggaran dasar dari Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Anggaran dasar ini sendiri dibuat oleh para pendiri, sebagai hasil musyawarah mereka. Kalau para pendiri merasa tidak sanggup untuk membuat anggaran dasar tersebut, maka hal itu dapat diserahkan pelaksanaannya kepada notaris yang bersangkutan;
  2. Setelah pembuatan akta pendirian itu selesai, maka notaris mengirimkan akta tersebut kepada Kepala Direktorat Perdata, Departemen Kehakiman. Akta pendirian tersebut juga dapat dibawa sendiri oleh para pendiri untuk minta pengesahan dari Menteri Kehakiman, tetapi dalam hal ini Kepala Direktorat Perdata tersebut harus ada surat pengantar dari notaris yang bersangkutan. Kalau penelitian akta pendirian Perseroan Terbatas itu tidak mengalami kesulitan, maka Kepala Direktorat Perdata atas nama Menteri Kehakiman mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendirian Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Kalau ada hal-hal yang harus diubah, maka perubahan itu harus ditetapkan lagi dengan akta notaris sebagai tambahan akta notaris yang dahulu. Tambahan akta notaris ini harus mnedapat pengesahan dari Departemen Kehakiman. Setelah itu ditetapkan surat keputusan terakhir dari Departemen Kehakiman tentang akta pendirian Perseroan Terbatas yang bersangkutan;
  3. Para pendiri atau salah seorang atau kuasanya, membawa akta pendirian yang sudah mendapat pengesahan dari Departemen Kehakiman beserta surat keputusan pengesahan dari Departemen Kehakiman tersebut ke kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang mewilayahi domisili Perseroan Terbatas untuk didaftarkan. Panitera yang berwenang mengenai hal ini mengeluarkan surat pemberitahuan kepada notaris yang bersangkutan bahwa akta pendirian PT sudah didaftar pada buku register PT;
  4. Para pendiri membawa akta pendirian PT beserta surat keputusan tentang pengesahan dari Departemen Kehakiman, serta pula surat dari Panitera Pengadilan negeri tentang telah didaftarnya akta pendirian PT tersebut ke kantor Percetakan Negara, yang menerbitkan Tambahan Berita Negara RI. Sesudah akta pendirian PT tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI,maka PT yang bersangkutan sudah sah menjadi badan hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, terdapat syarat-syarat formal dalam mendirikan PT, sebagai berikut :
  1. Pendiri minimal 2 orang atau lebih (Pasal 7 ayat 1);
  2. Akta Notaris yang berbahasa Indonesia;
  3. Setiap pendiri harus mengambil bagian atas saham, kecuali dalam rangka peleburan (Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3);
  4. Akta pendirian harus disahkan oleh Menteri kehakiman dan diumumkan dalam BNRI (Pasal 7 ayat 4);
  5. Modal dasar minimal Rp. 50 juta dan modal disetor minimal 25% dari modal dasar (Pasal 32 dan Pasal 33);
  6. Minimal 1 orang direktur dan 1 orang komisaris (Pasal 92 ayat 3 & Pasal 108 ayat 3)
  7. Pemegang saham harus WNI atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, kecuali PT PMA.
Adapun yang menjadi syarat umum pendirian Perseroan Terbatas adalah sebagai berikut :
  1. Fotokopi Kantu Tanda Penduduk (KTP) para pemegang saham dan pengurus, minimal 2 orang;
  2. Fotokopi Kartu Keluarga (KK) penanggung jawab / direktur;
  3. Nomor Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) penanggung jawab;
  4. Pas foto penanggung jawab ukuran 3X4 (2 lembar berwarna);
  5. Fotokopi PBB tahun terakhir sesuai domisili perusahaan;
  6. Fotokopi surat kontrak/sewa kantor atau bukti kepemilikan tempat usaha;
  7. Surat keterangan domisili dari pengelola gedung jika berdomisili di gedung perkantoran;
  8. Surat keterangan RT/RW (jika dibutuhkan, untuk perusahaan yang berdomisili di lingkungan perumahan) khusus luar Jakarta;
  9. Kantor berada di wilayah perkantoran/plaza, atau ruko, atau tidak berada di wilayah pemukiman; dan
  10. Siap disurvei.

Senin, 23 Juli 2018

PHK KARENA BURUH/PEKERJA MELAKUKAN TINDAK PIDANA DAN DIJATUHI HUKUMAN


Sumber foto: Tempo.co


Ketentuan Kesalahan Berat Paska Putusan Mahkamah Konstitusi

Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-I/2003 (“Putusan MK 12/2003”), Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) karena terbukti melakukan tindak pidana sudah tidak lagi dibedakan apakah buruh/pekerja dilaporkan pidana oleh perusahaan atau buruh/pekerja melakukan tindak pidana di luar perusahaan. Jika buruh/pekerja terbukti bersalah, pengusaha dapat melakukan PHK serta merta tanpa melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Sebelum dianulir oleh Mahkamah Konsitusi, konsep kesalahan berat dalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan akibat melakukan tindak pidana yang dilaporkan oleh pengusaha, dapat mengakibatkan pekerja di PHK serta merta tanpa didahului oleh putusan hakim yang menyatakan bahwa pekerja terbukti bersalah. Jika pekerja keberatan dengan PHK yang dilakukan, pekerja tersebut dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 159 UU Ketenagakerjaan.

Setelah Pasal 158 Jo. Pasal 159 UU Ketenagakerjaan dianulir oleh Putusan MK 12/2003, maka ketentuan Pasal 160 UU Ketenagakerjaan berlaku untuk setiap tindak pidana yang dilakukan oleh buruh/pekerja, baik atas laporan pengusaha maupun bukan. Jika buruh/pekerja terlibat tindak pidana di luar lingkungan kerja dan putusan hakim menyatakan buruh/pekerja tersebut tidak bersalah sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan, pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/pekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 160 ayat 4 UU Ketenagakerjaan.

Ketika buruh/pekerja terbukti bersalah dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 160 ayat 5 UU Ketenagakerjaan. Jika buruh/pekerja keberatan dengan PHK yang dilakukan, berdasarkan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan, buruh/pekerja dapat melakukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.


Pengusaha Wajib Membayarkan Bantuan Kepada Buruh/Pekerja Yang Ditahan Kepolisian

Berdasarkan ketentuan Pasal 160 ayat 1, maka besaran bantuan yang diberikan adalah sebagai berikut:
  1.           untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
  2.       untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
  3.       untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
  4.       untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.

Bantuan sebagaimana dimaksud di atas diberikan paling lama 6 (enam) bulan, terhitung sejak hari pertama buruh/pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib. Nominal uang bantuan disesuaikan dengan jumlah tanggungan buruh/pekerja tersebut.


Buruh/Pekerja Terbukti Melakukan Pidana Dapat Di PHK Serta Merta dan Mendapatkan Hak-Haknya

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 160 ayat 7 UU Ketenagakerjaan, maka hak buruh/pekerja yang harus dibayarkan akibat PHK yang dilakukan perusahaan karena buruh/pekerja terbukti melakukan tindak pidana adalah uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.

Jika pengusaha lalai dan tidak memenuhi hak-hak buruh/pekerja sebagaimana diuraikan di atas, maka sanksi yang diberikan Undang-Undang berdasarkan Pasal 185 ayat 1 UU Ketenagakerjaan adalah sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Minggu, 22 Juli 2018

SURAT KUASA DI PENGADILAN



Surat Kuasa bagi para pihak yang berperkara di Pengadilan merujuk pada ketentuan Pasal 1795 KUHPerdata Jo. Pasal 147 ayat (1) Rbg, yang merupakan dasar dibolehkannya pemberian kuasa kepada orang-orang untuk mewakili kepentingannya, baik Kuasa tersebut diberikan untuk segala kepentinga atau disebut sebagai Kuasa Umum, maupun Kuasa tersebut diberikan untuk kepentingan tertentu yang disebut sebagai Kuasa Khusus. Namun yang menjadi penegasan dalam hal ini menyangkut pemberian kuasa secara khusus di muka persidangan Pengadilan sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan pasal 147 ayat (1) Rbg.

Pemberian kuasa khusus di pengadilan terdapat beberapa aspek yang wajib untuk diperhatikan:

1.      Kewenangan Untuk Duduk Selaku Pemberi Dan Penerima Kuasa

Kewenangan pihak-pihak dalam suatu Surat Kuasa, baik dalam kedudukannya untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk mewakili kepentingan suatu korporasi (badan hukum) selaku pemberi kuasa. Sepanjang kedudukannya dan kapasitasnya tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta tidak hilang hak atau melalukan tindakan hukum atas namanya atau nama perseroannya.

Adapun mengenai kedudukan selaku penerima kuasa khusus dalam hal ini, sepenuhnya merujuk pada ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan sebagaimana dimuat dalam Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008 bagi Penerima Kuasa Khusus Insidentil.

2.      Bentuk Formil Surat Kuasa Khusus

Dalam ketentuan Pasal 147 ayat 1 Rbg secara imperatif disebutkan bahwa Surat Kuasa Khusus disyaratkan dalam berbentuk tertulis, dalam ketentuan pasal 147 ayat (3) Rbg jelas diatur bahwa Surat Kuasa dituangkan dalam suatu Akta Otentik yang dibuat dihadapan Notaris atau Akta yang dibuat di oleh Panitera Pengadilan Negeri dalam wilayah tempat tinggal atau tempat kediaman pemberi kuasa atau dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak tanpa perlu dibuat dihadapan pejabat tertentu.

3.      Syarat dan Formulasi Surat Kuasa Khusus

Ketentuan-ketentuan menyangkut Surat Kuasa Khusus sebagaimana telah disebutkan diatas (vide pasal 1795 KUHPerdata jo. Pasal 147 ayat (1) Rbg), hanya menyebutkan mengenai kebolehan untuk mewakili orang-orang secara khusus dalam beracara di Pengadilan, dimana Surat Kuasa Khusus diartikan hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Namun bagaimana syarat dan formulasi Surat Kuasa Khusus tersebut sehingga dapat dipahami kekhususannya hanya mengenai satu kepentingan tertentu, sehingga dinyatakan sebagai sahnya suatu surat kuasa serta agar dapat dibedakan dengan Surat Kuasa Umum. merujuk pada ketentuan SEMA No. 06 tahun 1994 yang merupakan penyempurnaan dari ketentuan terdahulu yakni SEMA No. 1 tahun 1971. Walaupun dalam SEMA No. 1 tahun 1971 telah secara jelas menyatakan mencabut SEMA No. 2 tahun 1959 dan SEMA No. 5 tahun 1962 yang keduanya mengatur tentang Surat Kuasa. Namun dalam SEMA No. 1 tahun 1971 menegaskan hal-hal yang bersifat Notoir dengan penekanan agar yang berkepentingan sudah harus mengetahui dan mengindahkan syarat-syarat Surat Kuasa Khusus. Sehingga dari konstruksi yuridis tersebut diketahui syarat-syarat sahnya suatu Surat Kuasa Khusus yakni:
  • menyebut dengan jelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan di pengadilan;
  • menyebut kompetensi relatif;
  • menyebut identitas dan kedudukan para pihak, dan;
  • menyebut secara ringkas dan konkret pokok dan objek sengketa yang diperkarakan.

Bahwa syarat-syarat surat kuasa tersebut di atas bersifat kumulatif, yang artinya dalam pembuatan surat kuasa khususharus terpenuhi seluruh syarat tersebut. Tidak dipenuhinya, salah satu syarat mengakibatkan surat kuasa khusus cacat formil dan tidak sah.

Pembuktian Sederhana Dalam Permohonan Kepailitan Dan PKPU

  Bahwa di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“ UU Kepailitan dan PKPU ”) tidak mengatur asas pembuktian secara sederha...