Sabtu, 12 Agustus 2017

OBYEK VITAL NASIONAL SEKTOR INDUSTRI DAN PROBLEMATIKANYA

OBYEK VITAL NASIONAL SEKTOR INDUSTRI DAN PROBLEMATIKANYA[1]


“Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi.”

Tan Malaka – Aksi Massa


A.           Pendahuluan

Pada tanggal 05 Agustus 2004, Pemerintah yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional “selanjutnya disebut Keppres 63/2004”. Peraturan ini sebagai upaya Pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi ancaman serta gangguan yang mengakibatkan kerugian bagi hajat hidup orang banyak.

Namun, sejalannya waktu kebijakan Pemerintah ini memiliki beberapa permasalahan ketika diimplementasikan. Dampak yang begitu nyata adalah suatu aktifitas pengekangan terhadap aktifitas serikat pekerja atau serikat buruh. Melalui penentuan suatu pabrik atau kawasan industri menyebabkan perjuangan serikat buruh akhirnya dibenturkan dengan aparat Kepolisian bahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Celah dalam Keppres 63/2004 disinyalir atau diduga sebagai upaya pihak pemodal atau pengusaha untuk mengamankan kegiatan bisnis mereka tanpa ada gangguan aktifitas serikat buruh atau dapat dikatakan sebagai upaya pelemahan serikat buruh.


B.           Pengertian Obyek Vital Nasional

Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/ instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis.[2]

Obyek Vital Nasional yang bersifat strategis harus memenuhi salah satu, sebagian atau seluruh ciri-ciri sebagai berikut:[3]
a.      menghasilkan kebutuhan pokok sehari-hari;
b. ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan bencana terhadap kemanusiaan dan pembangunan;
c.    ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan kekacauan transportasi dan komunikasi secara nasional; dan/atau ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan pemerintahan negara.


C.     Alur Penentuan Obyek Vital Nasional Sektor Industri

Calon obyek vital nasional sektor industri yang strategis akan dinilai sesuai dengan pendekatan dengan 4 (empat) point di atas, setelah dinyatakan memenuhi salah satu, sebagian atau seluruh keempat point tersebut Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait dalam hal sektor industri meruapakan kewenangan dari Menteri Perindustrian.

Menteri Perindustrian akan menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian yang menetapkan perusahaan ataupun kawasan industri yang menjadi obyek vital nasional di sektor industri. Untuk selanjutnya dapat melihat bagan di bawah ini.
  
Berapa Jumlah Obyek Vital Sektor Industri sekarang?
Permen Perindustrian Nomor: 541/M-IND/Kep/12/2015 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 620/M-IND/Kep/12/2012 tentang Objek Vital Nasional Sektor Industri 

a.       Terdapat 64 (enam puluh empat) Obyek Vital Nasional Sektor Industri, yang di mana 15 (lima belas) di antaranya adalah kawasan industri;
b.    Terdapat 16 (enam belas) jenis industri, yaitu: bahan baku peledak, dirgantara, garam, gula, kertas, logam, miyak goreng/kelapa sawit, perkapalan, pertahanan, petrokimia, pupuk, semen, telekomunikasi, tepung terigu, kawasan industri, dan kertas;


D.          Obyek Vital Sektor Industri dan Permasalahan yang Ditimbulkan

Sejak diterbitkan Agustus 2004, Keppres 63/2004 telah menjadi suatu momok tersendiri bagi gerakan buruh di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Keppres 63/2004 cenderung melindungi kepentingan pemodal dan pengekangan terhadap aktifitas serikat buruh yang memperjuangakan hak-aknya baik menggunakan metode aksi dan mogok. Serikat buruh akhirnya dibentukan dengan aparat Kepolisian dan TNI.

1.       Mengamankan Kepentingan Pemodal Melalui Kebijakan

“Keamanan dan rasa aman merupakan salah satu kunci dan syarat keberhasilan suatu negara.  Jaminan keamanan bagi industri membuat lancarnya kegiatan produksi bagi industri, termasuk karyawannya.  Perusahaan OVNI mendapat nilai tambah demi terwujudnya iklim usaha suatu industri yang kondusif dan kepastian bagi para investor,”.[4] Kurang lebih ungkapan ini sering terlontar baik dari Pemerintah maupun Asosiasi Pengusaha, dimana isi kepala mereka tersebut sejatinya menitik beratkan kepada kepentingan investor yang pada akhirnya mengesampingkan perlindungan kepada buruh.

Dengan berlandaskan hal tersebut, pada akhirnya Pemerintah melahirkan kebijakan atau peraturan untuk mengakomodir kepentingan para investor atau pemodal dengan mengikatkan sejumlah perusahaan dan kawasan industri menjadi obyek vital nasional (OVNI) yang dituangkan melalui Keputusan Menteri Perindustrian sebagai amanat dari Keppres 63/2004.

Tercatat pada Tahun 2013 jumlah OVNI 38 (tiga puluh delapan) perusahaam dan 10 (sepuluh) kawasan industri, Tahun 2014 jumlah OVNI 49 (empat puluh sembilan) perusahaam dan 14 (empat belas) kawasan industri dan Tahun 2015 jumlah OVNI 49 (empat puluh sembilan) perusahaan dan 15 (lima belas) kawasan.

Dengan melihat data 3 (tiga) tahun terakhir, jumlah perusahaan dan kawasan industri yang diikatkan diri dengan OVNI cenderung meningkat. Sebagai contoh ketika kawasan industri diikatkan diri sebagai OVNI, maka terdapat ratusan perusahaan yang berada di kawasan industri tersebut berada dalam area OVNI misalkan saja Kawasan Berikat Nusantara dan Kawasan Industri Jababeka.

2.      Pengekangan Terhadap Hak-Hak Dasar Buruh

Dengan dalih mengatas namakan sebagai kawasan OVNI, buruh yang hendak menyuarakan penderitaannya atas pelanggaran hak-hak normatif oleh pengusaha dilarang menjalankan unjuk rasa dan mogok.

Pengusaha segera meminta bantuan Kepolisian dan TNI untuk menghalau aksi buruh. Dasar argumentasi yang digunakan oleh aparat Kepolisian dan TNI tersebut adalah ini merupakan OVNI dan dilarang untuk melakukan aksi sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Beberapa pembubaran aksi buruh yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan dalih OVNI:
a.       Tahun 2013, Serikat Pekerja Pindo Deli Pulp & Paper yang berlokasi di Karawang melakukan aksi demonstrasi menuntut kenaikan upah;
b.      Aksi buruh dibubarkan di Kawasan Industri MM 2100 (21 November 2014);
c.       Aksi buruh dalam mogok nasional dibubarkan di Kawasan Industri EJIP Cikarang pada Bulan November 2015 yang akhirnya berujung kepada penangkapan kepada sejumah buruh.

Padahal buruh melakukan unjuk rasa dan mogok merupakan hak dasar buruh yang dilindungi oleh konstitusi, peraturan perundang-undangan dan konvensi-kovensi internasional. Tindakan pembubaran yang tak sedikit berujung kepada kekerasan dan penangkapan telah mencedarai Hak Asasi Manusia dan hak konstitusional serikat buruh dalam menuntut pemenuhan hak-hak mereka.

Catatan menariknya adalah pada penjelasan Pasal 9 ayat 2 Huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, terdapat pengecualian untuk “obyek-obyek vital nasional” meliputi radius 500 meter dari pagar luar. Yang artinya adalah aksi tetap dapat dilakukan di obyek vital nasional dengan pembatasan radius 500 meter dari pagar luar.

3.      Tindakan Represif oleh Polisi dan TNI terhadap buruh

a.      Kepolisian

Polisi acap kali menjadi salah satu aktor yang selalu dibenturkan dengan serikat buruh. Tidak sedikit serikat buruh yang menjalankan aksi unjuk rasa dan mogok dibubarkan paksa oleh aparat Kepolisian.

Tak cukup hanya dibubarkan saja, pihak Kepolisian juga tak jarang melakukan tindakan kekerasan dan penangkapan dalam membubarkan aksi buruh. Sebagai contoh kasus adalah tindakan Kepolisian yang melakukan pembubaran paksa terhadap sejumlah buruh di Kawasan Industri EJIP Cikarang yang sedang melakukan mogok nasional pada tahun 2015 dan ditangkapnya sejumlah buruh untuk diinterogasi di Polres Kabupaten Bekasi.

Belum lagi tindakan Kepolisian yang telah melewati kewenangan yaitu menjadi “Mediator” dadakan. Bertindak layaknya Mediator yang coba memediasikan permasalahan antara pihak buruh dengan pihak perusahaan.

Jelas tindakan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dengan melakukan tindakan yang represif dan ikut campur dalam perselisihan hubungan industrial telah menyalahi aturan atau kode etik Kepolisian itu sendiri yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2005 Tentang Pedoman Tindakan Kepolisian Negara Republik Indonesia Pada Penegakan Hukum Dan Ketertiban Dalam Perselisihan Hubungan Industrial dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia.

b.      TNI

Keterlibatan TNI dalam perselisihan hubungan industrial di kawasan-kawasan OVNI sebenarnya tidak memiliki dasar hukum. Peran TNI adalah pertahanan bukan keamanan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Pengarahan TNI adalah tanggung jawab dan kewenangan Presiden yang sebelumnya sudah mendapatkan persetujuan dari DPR terlebih dahulu.[5] Oleh karenanya, keterlibatan TNI dalam pengamanan OVNI tidak boleh secara sewenang-wenang tanpa diketaui oleh Presiden dan persetujuan dari DPR.

Namun, kami menemukan sebanyak 31 (tiga puluh satu) MoU antara TNI dengan instansi lain. Dimana dua diantaranya MoU tersebut dilakukan dengan pihak Kawasan Berikat Nusantara dan Kawasan Industri Pulo Gadung.



[1] Disampaikan oleh WIRDAN FAUZI, S.H., Dalam Pendidikan Federasi Serikat Pekerja Pulp & Kertas Indonesia (FSP2KI) Korwil Jawa Barat Karawang, 13 November 2016.
[2] Pasal 1 ayat 1 Keppres 63/2004.
[3] Pasal 2 Keppres 63/2004.
[5] Pasal 17 UU TNI.

Selasa, 08 Agustus 2017

THR GUA DIRAMPOK PERUSAHAAN DENGAN NGAKALIN PAKAI PERATURAN KADALUARSA

Depok - Oke, saya lanjutkan mengenai membaca perjanjian kerja di sebuah perusahaan outsourcing rekanan dari Bank swasta terkemuka di Indonesia artikel saya sebelumnya. Kali ini sorotan mata saya tertuju kepada Pasal mengenai hak pekerja untuk mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) yang masih menggunakan peraturan yang lama yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I NO.PER-04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan.

Ini peraturannya udah kadaluarsa, ujar saya kepada buruh tersebut. Peraturan Menteri ini sudah diganti yang baru, sambung saya. Yang baru peraturan mengenai THR nomor berapa bro?. tanya buruh tersebut. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan R.I Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh Di Perusahaan.

Waah.. kalau begitu ini ada yang dirugikan engga buat gua dan teman-teman gua?, tanya buruh tersebut. Ada bro, jawab saya sambil menghisap rokok. Di peraturan yang lama (Permenaker 04/1994) menjelaskan bahwa Pengusaha wajib memberikan THR kepada buruh yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau lebih, sedangkan Permenaker 6/2016 menjelaskan bahwa buruh yang masa kerjanya baru 1 (satu) bulan secara terus menerus sudah bisa dapat THR, terang saya.

Gilaaa..!! kasihan banget temen gua yang kemaren kerja udah 2 (dua) bulan engga dapat THR, jelas buruh tersebut. Ini perusahaan manfaatin kita banget ya yang engga tau peraturan, yang ujung-ujungnya buruh yang dirugikan, tambah dia. Yuup.., ini perusahaan sengaja banget pakai peraturan yang lama bro biar engga ada kewajiban bagi perusahaan bayar THR kepada buruh yang masa kerjanya di bawah 3 (tiga) bulan, tegas saya.

Harusnya temen gua dapat THR nih, berapa tuh kira-kira yang mereka dapat bro?, tanyanya. Ngituungnya, gini bro, masa kerja dibagi 12 (dua belas) bulan dikali 1 (satu) bulan upah, terang saya. Upah 1 (satu) bulan yang dimaksud adalah upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages) atau upah pokok termasuk tunjangan tetap, tambah saya.

Kalau begitu ini ada kesalahan nih yang dilakukan oleh perusahaan, kira-kira sanksinya apa bro?, tanya buruh tersebut. Yang pertama, perusahaan terlambat ngasih THR tersebut dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban perusahaan untuk membayar dan kedua, perusahaan dapat dikenakan sanksi administratif, mulai dari teguran sampai kepada pencabutan ijin usaha, terang saya.


Sedangkan untuk mendesak pelaksanaan perusahaan untuk segera membayar THR teman loe yang kagak dibayar itu kita dapat minta pengawas ketenagakerjaan dinas tenaga kerja setempat, tutup saya.

Sabtu, 05 Agustus 2017

YANG BENER AJA???
GUA DIKONTRAK MENJADI PEKERJA HARIAN LEPAS SELAMA SATU TAHUN

Karawang, dua minggu yang lalu kurang lebih saya berkesempatan membaca perjanjian kerja buruh outsourcing di salah satu Bank swasta terkemuka di Indonesia. Baru halaman pertama membaca kontrak kerja tersebut saya langsung dibuat tertakjub-takjub. Hal yang membuat saya tertakjub dengan kontrak kerja tersebut adalah hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan outsourcing tersebut sebagai pekerja harian lepas (PHL) selama 1 (satu) tahun. Woooow…. gile bener nih perusahaan, setahun ciiing!!!.

Karena saya menunjukkan rawut muka yang tidak wajar dan sambil nyengir-nyengir, buruh tersebut spontan bertanya kepada saya, bro ada yang salah dengan kontrak kerja gua?. Langsung saja saya merespon dengan menginyakan hal tersebut. Mulailah secara perlahan-lahan saya menjelaskan kepada buruh tersebut mengenai apa itu pekerja harian lepas, kurang lebih saya menjelaskannya kepada dia seperti di bawah ini.

Pekerja Harian Lepas?

Bidang pekerjaan yang dapat dijalankan dengan perjanjian kerja harian lepas adalah untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-rubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran.

Nah, dengan pekerjaan lo yang sebagai call center, apakah pekerjaan tersebut berubah-rubah waktunya atau terus menerus menjadi call center? tanya saya keburuh tersebut. Yaa enggaklah, gua kerja jadi call center terus menerus dengan job desk menerima pengaduan dari customer, menjawab pengaduan tersebut dan melakukan pelaporan keatasan gua, jawab buruh tersebut. Kalau gitu salahkah ini dari status hubungan kerjanya? tanya saya kembali. Lalu, ia menjawab dengan sebuah anggukan kepala sambil menyalakan rokok yang sudah berada di tangannya.

Masa Kerja Harian Lepas?

Kembali saya lanjutkan penjelasan saya, Niih… mengenai masa kerja pekerja harian lepas itu hanya boleh dilakukan dalam kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.

Gua kerja udah 5 (lima) bulan ini bro, sambar buruh tersebut seketika. Naah, itu kesalahan kedua berarti bro, jawab saya.

Sanksi Bagi Perusahaan?

Saya lanjutin nih yee, kalau perusahaan yang melakukan kedua kesalahan tersebut maka sanksinya adalah lo harus beralih statusnya menjadi karyawan tetap. Bunyi pasalnya begini nih “Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT” (Pasal 10 ayat 3 Kepmenaker 100/2004).

Sekarang tinggal bagaimana lo dan kawan-kawan tuh mau memperjuangin hak lo yang udah dilanggar oleh perusahaan, tegas saya sambil mengaduk kopi hitam yang sudah disediakan.

Iyah sih, teman-teman gua sebenarnya juga banyak yang gelisah soal status mereka yang kenapa cuman jadi pekerja harian lepas, sedangkan kerjaan kita dilakukan secara terus menerus, jawab buruh tersebut. Gua mesti ngapain nih menurut lo, tanyanya.

Sekarang coba lo sama teman-teman lo nongkrong bareng, tanyain kepada mereka kalau udah banyak kesalahan seperti ini apa yang bisa dilakukan bersama, jelas saya. Kalau ini menjadi permasalahan bersama, maka yang menyelesaikan masalah ini juga harus bersama-sama atau secara kolektif, tegas saya. Kalau semuanya sudah kompak dan satu pemahaman, maka ketika akan melakukan pengaduan kedisnaker, perundingan dengan pihak perusahaan dan lain-lain akan terasa lebih bersemangat karena dijalankan bersama, tutup saya.


Sumber tulisan:
1. Percakapan saya dengan salah seorang buruh;
2. Kepmenaker 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu            Tertentu.

Pembuktian Sederhana Dalam Permohonan Kepailitan Dan PKPU

  Bahwa di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“ UU Kepailitan dan PKPU ”) tidak mengatur asas pembuktian secara sederha...