Baju baru Alhamdulillah//Tuk dipakai di
hari raya//
Tak punya pun tak apa-apa//Masih ada baju
yang lama
Sepatu baru Alhamdulillah//Tuk dipakai di
hari raya//
Tak punya pun tak apa-apa//Masih ada
sepatu yang lama
Sepenggal
bait lagu yang dipopulerkan oleh Dhea Ananda yang berjudul Baju Baru pada Tahun
1990an tersebut menggambarkan kebahagian setiap anak ketika menyambut hari raya
Idul Fitri. Setiap orang tua pun berusaha untuk memenuhi keinginan dan membagaiakan anak-anaknya
tersebut salah satunya dari uang Tunjangan Hari Raya (THR) pemberian dari Pengusaha tempat
mereka bekerja.
Ketentuan
mengenai THR tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(UU Ketenagakerjaan), melainkan secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi
Pekerja/Buruh di Perusahaan (Permenaker 6/2016).
Tulisan
ini coba mengupas mengenai pengaturan THR bagi pekerja/buruh di Perusahaan yang
diatur dalam Permenaker 6/2016
1. Apa sih yang
dimaksud dengan THR?
Tunjangan Hari Raya
Keagamaan yang selanjutnya disebut THR Keagamaan adalah pendapatan non upah
yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh atau keluarganya
menjelang Hari Raya Keagamaan.
Jika melihat pengertian THR
di atas, maka THR sifatnya wajib diserahkan oleh pengusaha kepada pekerja
atau buruhnya. THR Keagamaan diberikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun sesuai dengan Hari Raya Keagamaan masing- masing Pekerja/Buruh.
2. Apakah THR hanya diberikan bagi pekerja/buruh yang merayakan
Idul Fitri?
Jawabanya adalah tidak,
karena pembayaran THR sesuai dengan hari raya keagaamaan si pekerja/buruh tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1
angka 2 Permenaker 6/2016 yang berbunyi:
“Hari Raya
Keagamaan adalah Hari Raya Idu1 Fitri bagi Pekeıja/Buruh yang beragama Islam,
Hari Raya Natal bagi Pekerja/Buruh yarıg beragama kristen Katholik dan Kristen
Protestan, Hari Raya Nyepi bagi Pekerja/ Buruh yang beragama Hindu, Hari Raya
Waısak bagi Pekerja/Buruh yang beragama Budha, dan Hari Raya Imlek bagi
Pekerja/ Buruh yang beragama Konghucu.”
3. Siapakah yang berhak mendapatkan THR?
THR Keagamaan diberikan
kepada Pekerja/Buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan Pengusaha berdasarkan
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.[1]
Gimana kalau pekerja atau
buruhnya yang berstatus kontrak baru bekerja 3 (tiga) bulan? Dapat engga dia THR?
Jawabannya dapat dong, karena Pengusaha wajib
memberikan THR Keagamaan kepada Pekerja/ Buruh yang telah mempunyai masa
kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih.[2]
Bagi pekerja/buruh yang berstatus
pekerja haris lepas gimana nasibnya? dapat engga
dia THR?
Dapat, dimana bagi Pekerja/Buruh yang bekerja
berdasarkan peıjanjian kerja harian lepas wajib menerima THR dari Pengusaha.[3]
4. Kapan THR itu dibayarkan oleh pengusaha ke pekerja/Buruh?
THR wajib dibayarkan oleh
Pengusaha paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan.
Sering kejadian nih kalau THR pekerja/buruh “diganti”
dengan paket kue lebaran, sirup marjan, astor dan paket sembako sama pengusaha,
sebenarnya boleh engga sih kalau
kayak begitu?
Jawabanya engga boleh, karena THR
diberikan dalam bentuk uang dengan ketentuan menggunakan mata uang
rupiah Negara Republik Indonesia.[4]
5. Bagaimanakah perhitungan pemberian THR dari Pengusaha ke
pekerja/buruh?
Bagi pekerja/buruh yang
telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau
lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah.[5]
Jadi kalau Anda sudah bekerja 1,5
Tahun dengan gaji sebulan Rp. 4.000.000,- (Empat Juta Rupiah), maka THR yang didapat
adalah sebesar Rp. 4.000.000,- (Empat Juta Rupiah).
Bagi pekerja/buruh yang
mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12
(dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan
perhitungan:[6]
masa
kerja
x 1 (satu] bulan upah.
12
Naah, jika Anda misalnya
sudah bekerja 6 (enam) bulan dengan gaji yang diperoleh sebulan Rp. 4.000.000,-
(Empat Juta Rupiah), maka THR yang didapat adalah sebesar Rp. 2.000.000,- (Dua
Juta Rupiah).
Bagi Pekerja/Buruh yang
bekerja berdasarkan peıjanjian kerja harian lepas, upah 1 (satu) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai berikut:[7]
a. Pekerja/ Buruh yang telah
mempunyai masa kerja 12 (dua belas] bulan atau lebih, upah 1 (satu)bulan
dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 (dua belasJ bulan
terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan;
b. Pekerja/Buruh yang
mempunyai masa kerja kurang dari 12 (dua belas) bulan, upah 1 (satu) bulan
dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.
Yang dimaksud upah 1 (satu)
bulan sebagaimana dimaksud di atas adalah terdiri atas komponen upah: a) upah
tanpa turıjangan yang merupakan upah bersih (clean wages); atau b) upah pokok termasuk tunjangan tetap.[8]
6. Lalu bagaimana kalau THR yang dibayarkan pengusaha lebih
besar dari ketentuan yang ditetapkan dalam Permenaker 6/2016?
Apabila penetapan
besarari nilai THR Keagamaan berdasarkan perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian keija bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih
besar dari nilai THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
Permenaker 6/2016, THR Keagamaan yang dibayarkan kepada Pekerja/ Buruh sesuai
dengan perjanjian keija, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau
kebiasaan yarig telah dilakukan.[9]
7. Bagaimana pembayaran THR jika pekerja/buruh berniat resign
(mengundurkan diri) atau dipecat sebelum hari raya?
“Pekerja/buruh
yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan
mengalami pemutusan hubungan kerja terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum
Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR Keagamaan.”
Penjabaran Pasal 7 ayat 1
Permenaker 6/2016 tersebut, menjelaskan bahwa anda yang berstatus pekerja tetap/PKWTT
yang mengundurkan diri atau dipecat setidaknya terjadi masih dalam waktu 30
hari sebelum hari raya keagamaan, Anda masih berhak atas THR.
Namun berbeda nasibnya
dengan pekerja/buruh dengan status perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak
tidak berlaku ketentuan Pasal 7 ayat 1 tersebut, artinya pekerja/buruh kontrak
yang hubungan kerjanya berakhir sebelum hari raya keagamaan sama sekali tidak
mendapat THR dari pengusaha.[10]
8. Apakah THR tetap diberikan kepada pekerja/buruh yang dipindahkan
dari induk perusahaan ke anak perusahaan?
Pekerja/Buruh yang
dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, berhak atas THR
Keagamaan pada perusahaan yang bam, apabila dari perusahaan yang lama
Pekerja/Buruh yang bersangkutan belum mendapatkan THR Keagamaan.[11]
Namun, untuk memperkuat
kedudukan anda agar tetap mendapatkan hak-hak anda seperti masa kerja, BPJS,
THR dan hak-hak lainnya, maka sepatutnya harus dibuatkan perjanjian pengalihan,
agar hak-hak Anda tersebut termasuk THR sebagai pekerja/buruh tidak dikurangi
atau tidak diberikan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan, yang menyebutkan:
“Dalam hal
terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab
pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak
mengurangi hak-hak pekerja/buruh.”
9. Apakah sanksi bagi pengusaha yang terlambat atau tidak
membayar THR kepada pekerja/buruh?
Pengusaha yang terlambat
membayar THR kepada pekerja/buruh dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari
total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha
untuk membayar (tujuh hari sebelum hari raya keagamaan). Pengenaan denda
tersebut tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar THR
kepada pekerja/buruh.[12]
Pengusaha yang tidak
membayar THR kepada Pekerja/Buruh juga dikenai sanksi administratif, berupa:[13]
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh
alat produksi; dan
d. pembekuan kegiatan usaha.
10. Bagaimanakah upaya yang dapat ditempuh bila pengusaha bandel tidak mau membayar THR kepada pekerja/buruh?
Langkah pertama, pekerja atau buruh dapat
melaporkan pihak pengusaha ke pengawas ketenagakerjaan di Dinas Ketenagakerjaan
setempat. Hal ini sebagaimana tujuan dan fungsi pengawasan ketenagakerjaan untuk
memastikan dilaksanakannya Norma Ketenagakerjaan di Perusahaan atau Tempat
Kerja dan menjamin penegakan hukum ketenagakerjaan.[14]
Langkah kedua, pekerja atau buruh
dapat melakukan upaya perundingan atau bipartit. Apabila upaya perundingan atau
bipartit tidak menemui kesepakatan, maka pekerja atau buruh dapat menempuh upaya
mediasi yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral di dinas
ketenagakerjaan setempat. Jika mediasi masih gagal, Anda bisa mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana yang diatur dalam
UU PPHI.[15]
[1] Pasal 2 ayat 2 Permenaker 6/2016.
[2] Pasal 2 ayat 1 Permenaker 6/2016.
[3] Pasal 3 ayat 3 Permenaker 6/2016.
[4] Pasal 6 Permenaker 6/2016.
[5] Pasal 3 ayat 1 huruf a Permenaker 6/2016.
[6] Pasal 3 ayat 1 huruf b Permenaker 6/2016.
[8] Pasal 3 ayat 2 Permenaker 6/2016.
[9] Pasal 4 Permenaker 6/2016.
[10] Pasal 7 ayat 3 Permenaker 6/2016.
[12] Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 2015 tentang Pengupahan Jo. Pasal 10 ayat 1 Permenaker 6/2016.
[13] Pasal 11 ayat (1) Permenaker 6/2016 Jo. Pasal
59 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1) huruf a PP Pengupahan.
[14] Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 huruf a Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2016 Tentang Tata
Cara Pengawasan Ketenagakerjaan.
[15] Lihat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.