Jumat, 18 Mei 2018

10 HAL YANG PERLU KAMU KETAHUI MENGENAI TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN (THR)




Baju baru Alhamdulillah//Tuk dipakai di hari raya//
Tak punya pun tak apa-apa//Masih ada baju yang lama
Sepatu baru Alhamdulillah//Tuk dipakai di hari raya//
Tak punya pun tak apa-apa//Masih ada sepatu yang lama

Sepenggal bait lagu yang dipopulerkan oleh Dhea Ananda yang berjudul Baju Baru pada Tahun 1990an tersebut menggambarkan kebahagian setiap anak ketika menyambut hari raya Idul Fitri. Setiap orang tua pun berusaha untuk memenuhi keinginan dan membagaiakan anak-anaknya tersebut salah satunya dari uang Tunjangan Hari Raya (THR) pemberian dari Pengusaha tempat mereka bekerja.

Ketentuan mengenai THR tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), melainkan secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (Permenaker 6/2016).

Tulisan ini coba mengupas mengenai pengaturan THR bagi pekerja/buruh di Perusahaan yang diatur dalam Permenaker 6/2016

1.       Apa sih yang dimaksud dengan THR?
Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang selanjutnya disebut THR Keagamaan adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan.

Jika melihat pengertian THR di atas, maka THR sifatnya wajib diserahkan oleh pengusaha kepada pekerja atau buruhnya. THR Keagamaan diberikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sesuai dengan Hari Raya Keagamaan masing- masing Pekerja/Buruh.

2.      Apakah THR hanya diberikan bagi pekerja/buruh yang merayakan Idul Fitri?
Jawabanya adalah tidak, karena pembayaran THR sesuai dengan hari raya keagaamaan si pekerja/buruh tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 Permenaker 6/2016 yang berbunyi:
 “Hari Raya Keagamaan adalah Hari Raya Idu1 Fitri bagi Pekeıja/Buruh yang beragama Islam, Hari Raya Natal bagi Pekerja/Buruh yarıg beragama kristen Katholik dan Kristen Protestan, Hari Raya Nyepi bagi Pekerja/ Buruh yang beragama Hindu, Hari Raya Waısak bagi Pekerja/Buruh yang beragama Budha, dan Hari Raya Imlek bagi Pekerja/ Buruh yang beragama Konghucu.”

3.      Siapakah yang berhak mendapatkan THR?
THR Keagamaan diberikan kepada Pekerja/Buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan Pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.[1]

Gimana kalau pekerja atau buruhnya yang berstatus kontrak baru bekerja 3 (tiga) bulan? Dapat engga dia THR?
Jawabannya dapat dong, karena Pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan kepada Pekerja/ Buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih.[2]

Bagi pekerja/buruh yang berstatus pekerja haris lepas gimana nasibnya? dapat engga dia THR?
Dapat, dimana bagi Pekerja/Buruh yang bekerja berdasarkan peıjanjian kerja harian lepas wajib menerima THR dari Pengusaha.[3]

4.      Kapan THR itu dibayarkan oleh pengusaha ke pekerja/Buruh?
THR wajib dibayarkan oleh Pengusaha paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan.

Sering kejadian nih kalau THR pekerja/buruh “diganti” dengan paket kue lebaran, sirup marjan, astor dan paket sembako sama pengusaha, sebenarnya boleh engga sih kalau kayak begitu?
Jawabanya engga boleh, karena THR diberikan dalam bentuk uang dengan ketentuan menggunakan mata uang rupiah Negara Republik Indonesia.[4]

5.      Bagaimanakah perhitungan pemberian THR dari Pengusaha ke pekerja/buruh?
Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah.[5] Jadi kalau Anda sudah bekerja 1,5 Tahun dengan gaji sebulan Rp. 4.000.000,- (Empat Juta Rupiah), maka THR yang didapat adalah sebesar Rp. 4.000.000,- (Empat Juta Rupiah).

Bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan:[6]
masa kerja x 1 (satu] bulan upah.
      12

Naah, jika Anda misalnya sudah bekerja 6 (enam) bulan dengan gaji yang diperoleh sebulan Rp. 4.000.000,- (Empat Juta Rupiah), maka THR yang didapat adalah sebesar Rp. 2.000.000,- (Dua Juta Rupiah).

Bagi Pekerja/Buruh yang bekerja berdasarkan peıjanjian kerja harian lepas, upah 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai berikut:[7]
a.   Pekerja/ Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas] bulan atau lebih, upah 1 (satu)bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 (dua belasJ bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan;
b.   Pekerja/Buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 (dua belas) bulan, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

Yang dimaksud upah 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud di atas adalah terdiri atas komponen upah: a) upah tanpa turıjangan yang merupakan upah bersih (clean wages); atau b) upah pokok termasuk tunjangan tetap.[8]

6.      Lalu bagaimana kalau THR yang dibayarkan pengusaha lebih besar dari ketentuan yang ditetapkan dalam Permenaker 6/2016?
Apabila penetapan besarari nilai THR Keagamaan berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian keija bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Permenaker 6/2016, THR Keagamaan yang dibayarkan kepada Pekerja/ Buruh sesuai dengan perjanjian keija, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau kebiasaan yarig telah dilakukan.[9]

7.      Bagaimana pembayaran THR jika pekerja/buruh berniat resign (mengundurkan diri) atau dipecat sebelum hari raya?
“Pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan mengalami pemutusan hubungan kerja terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR Keagamaan.”

Penjabaran Pasal 7 ayat 1 Permenaker 6/2016 tersebut, menjelaskan bahwa anda yang berstatus pekerja tetap/PKWTT yang mengundurkan diri atau dipecat setidaknya terjadi masih dalam waktu 30 hari sebelum hari raya keagamaan, Anda masih berhak atas THR.

Namun berbeda nasibnya dengan pekerja/buruh dengan status perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak tidak berlaku ketentuan Pasal 7 ayat 1 tersebut, artinya pekerja/buruh kontrak yang hubungan kerjanya berakhir sebelum hari raya keagamaan sama sekali tidak mendapat THR dari pengusaha.[10]  

8.      Apakah THR tetap diberikan kepada pekerja/buruh yang dipindahkan dari induk perusahaan ke anak perusahaan?
Pekerja/Buruh yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, berhak atas THR Keagamaan pada perusahaan yang bam, apabila dari perusahaan yang lama Pekerja/Buruh yang bersangkutan belum mendapatkan THR Keagamaan.[11]

Namun, untuk memperkuat kedudukan anda agar tetap mendapatkan hak-hak anda seperti masa kerja, BPJS, THR dan hak-hak lainnya, maka sepatutnya harus dibuatkan perjanjian pengalihan, agar hak-hak Anda tersebut termasuk THR sebagai pekerja/buruh tidak dikurangi atau tidak diberikan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, yang menyebutkan:

“Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.”

9.      Apakah sanksi bagi pengusaha yang terlambat atau tidak membayar THR kepada pekerja/buruh?
Pengusaha yang terlambat membayar THR kepada pekerja/buruh dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar (tujuh hari sebelum hari raya keagamaan). Pengenaan denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar THR kepada pekerja/buruh.[12]

Pengusaha yang tidak membayar THR kepada Pekerja/Buruh juga dikenai sanksi administratif, berupa:[13]
a.    teguran tertulis;
b.    pembatasan kegiatan usaha;
c.    penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan
d.    pembekuan kegiatan usaha.

10.   Bagaimanakah upaya yang dapat ditempuh bila pengusaha bandel tidak mau membayar THR kepada pekerja/buruh?
Langkah pertama, pekerja atau buruh dapat melaporkan pihak pengusaha ke pengawas ketenagakerjaan di Dinas Ketenagakerjaan setempat. Hal ini sebagaimana tujuan dan fungsi pengawasan ketenagakerjaan untuk memastikan dilaksanakannya Norma Ketenagakerjaan di Perusahaan atau Tempat Kerja dan menjamin penegakan hukum ketenagakerjaan.[14]

Langkah kedua, pekerja atau buruh dapat melakukan upaya perundingan atau bipartit. Apabila upaya perundingan atau bipartit tidak menemui kesepakatan, maka pekerja atau buruh dapat menempuh upaya mediasi yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral di dinas ketenagakerjaan setempat. Jika mediasi masih gagal, Anda bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana yang diatur dalam UU PPHI.[15]



[1] Pasal 2 ayat 2 Permenaker 6/2016.
[2] Pasal 2 ayat 1 Permenaker 6/2016.
[3] Pasal 3 ayat 3 Permenaker 6/2016.
[4] Pasal 6 Permenaker 6/2016.
[5] Pasal 3 ayat 1 huruf a Permenaker 6/2016.
[6] Pasal 3 ayat 1 huruf b Permenaker 6/2016.
[7] Pasal 3 ayat 3 Permenaker 6/2016.
[8] Pasal 3 ayat 2 Permenaker 6/2016.
[9] Pasal 4 Permenaker 6/2016.
[10] Pasal 7 ayat 3 Permenaker 6/2016.
[11] Pasal 8 Permenaker 6/2016.
[12] Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan Jo. Pasal 10 ayat 1 Permenaker 6/2016.
[13] Pasal 11 ayat (1) Permenaker 6/2016 Jo. Pasal 59 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1) huruf a PP Pengupahan.
[14] Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 huruf a Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan.
[15] Lihat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Kamis, 10 Mei 2018

SEJARAH PARALEGAL DI INDONESIA





Kamis (10/05/2018) dini hari seorang teman kantor bertanya kepada saya mengenai apa yang dimaksud dengan Paralegal, karena secara tidak sengaja dia membaca sebuah cover sebuah buku yang memuat kata Paralegal.

Sambil mendengar lantunan lagu-lagu yang diputarkan radio Prambors di ruang kerja dan diselingi dengan merokok, kami mendiskusikan mengenai sejarah paralegal di Indonesia, apa yang dimaksud dengan paralegal dan apa peran & fungsi paralegal.

Kurang lebih obrolan kita dini hari tersebut saya rangkum dalam tulisan saya di bawah ini. 

Sejarah Paralegal Di Indonesia

Perkembangan paralegal pada umumnya mengemuka pada era 1970-an. Pada masa itu LSM-LSM di Indonesia mulai menjalankan program-program penyadaran potensi dan hak-hak masyarakat miskin[1]. Istilah yang digunakan pada medio 1970 an dengan istilah pokrol bambu. Sering pula paralegal digambarkan sebagai seseorang yang tidak mesti seorang sarjana hukum atau mengeyam dunia pendidikan hukum diperguruan tinggi. Namun paralegal harus mengkuti pendidikan khusus keparalegalan tentang sistem hukum dasar, hak asas manusia dasar, keterampilan hukum dan pengorganisiran.

Salah satu lembaga yang konsen mengembangkan konsep paralegal di Indonesia adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pada masa 1980an LBH-YLBHI telah menggunakan isu hukum sebagai jalan masuk untuk membangun kesadaran masyarakat melalui pendidikan-pendidikan berbasis komunitas. Bahkan menurut Patra M. Zen, diawal tahun 1990-an dimotori LBH-Yayasan LBH Indonesia, telah membentuk Jaringan Paralegal Indonesia. Akan tetapi jaringan tersebut tidak aktif lagi sejak 1996.

Lalu pada periode 1990-an, pendidikan paralegal mulai berkembang berdasarkan isu dengan mengundang beragam komunitas dimasyarakat. Ditandai dengan berdirinya organisasi non-pemerintah yang spesifik menangangi isu-isu tertentu seperti WALHI, ICEL dan LBH Apik. WALHI dan ICEL menyelenggarakan pelatihan paralegal dibidang lingkungan hidup. Sementara LBH Apik menyelanggarakan pendidikan paralegal untuk isu kekerasan dalam rumah tangga dan hak-hak perempuan dan anak.

Memasuki tahun 2000-an, pendidikan paralegal tidak lagi hanya berbasiskan kasus maupun isu, melainkan semua pengetahuan dan keterampilan yang dianggap perlu bagi paralegal untuk menjadi jembatan dan mendorong perjuangan dikomunitasnya.

Pada tahun 2011, Indonesia menerbitkan Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bantuan Hukum”). UU Bantuan Hukum tersebut memberikan pengertian dan fungsi serta tugas Paralegal dalam memberikan bantuan hukum.

Paralegal dan Fungsinya

Pasal 1 angka 21 UU Bantuan Hukum, pengertian paralegal adalah seseorang yang bukan advokat, namun memiliki pengetahuan dibidang hukum, baik hukum materil maupun hukum acara, dengan pengawasan advokat atau organisasi bantuan hukum, yang berperan membantu masyarakat pencari keadilan.

Secara garis besar fungsi-fungsi paralegal adalah melakukan pengorganisiran, pendidikan dan advokasi. Fungsi-fungsi yang dilakukan oleh paralegal harus dipahami oleh dalam rangka menunjang tugas-tugas pengacara dalam penanganan kasus, penelitian dan pengembangan masyarakat. Paralegal tidak dapat dilepaskan secara mandiri dalam melakukan fungsi-fungsinya demi menjaga mutu kualitas bantuan hukum yang diberikan.

Beberapa fungsi-fungsi paralegal didasarkan pada kerja-kerja bantuan hukum, yaitu:
  1. Memfasilitasi pembentukan organisasi rakyat;
  2. Mendidik dan melakukan penyadaran;
  3. Melakukan analisa sosial;
  4. Advokasi;
  5. Membimbing, melakukan mediasi;
  6. Bantuan Hukum;
  7. Jaringan Kerja;
  8. Mendampingi masyarakat untuk melakukan aksi protes dan audensi;
  9. Dokumentasi;
  10. Mengkonsep surat-surat;
  11. Membantu pengacara.




[1] Asrul A Sigalingging Dkk. Paralegal berbasis organisasi rakyat. YLBHI LBH Padang, Padang, 2015 hal 19.

Pembuktian Sederhana Dalam Permohonan Kepailitan Dan PKPU

  Bahwa di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“ UU Kepailitan dan PKPU ”) tidak mengatur asas pembuktian secara sederha...