Selasa, 28 Februari 2017

ADVOKASI ASPEK HUKUM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DI INDONESIA[1]






A.     PENDAHULUAN

Perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan dan keselematan kerja (K3) bagi pengusaha maupun bagi buruh dan organisasi buruh belum menjadi isu utama dalam perjuangan kesejahteraan buruh. Advokasi mengenai K3 tak terdengar gaugnya dibandingkan dengan advokasi pengupahan yang setiap tahunnya disuarakan oleh seluruh buruh di Indonesia.

Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PPK dan K3) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Muji Handaya mengatakan, jumlah kecelakaan kerja dari tahun ke tahun mengalami tren peningkatan. Untuk total jumlah kecelakaan kerja siap tahunnya mengalami peningkatan hingga 5%, sedangkan untuk  kecelakaan kerja berat tren peningkatannya cukup lumayan besar yakni sekitar 5%-10% setiap tahunnya.[2]

Angka kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi. Mengutip data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, hingga akhir 2015 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 105.182 kasus. Sementara itu, untuk kasus kecelakaan berat yang mengakibatkan kematian tercatat sebanyak 2.375 kasus dari total jumlah kecelakaan kerja.

Dengan melihat data di atas, menimbulkan pertanyaan besar bagi kita semua. Sejauh mana perlindungan K3 bagi buruh-buruh di Indonesia?. Telah sama-sama kita ketahui bahwa Indonesia telah mempunyai peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan K3.


B.     ASPEK HUKUM

Upaya pemenuhan dan perlindungan hak K3 yang dilakukan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain 3 (tiga) undang-undang, 3 (tiga) Peraturan Pemerintah, 26 (dua puluh enam) Peraturan Menteri Tenaga Kerja, 11 (sebelas) Keputusan Menteri Tenaga Kerja, 1 (satu) Instruksi Menteri Tenaga Kerja dan 3 (tiga) Surat Edaran dan Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Berikut daftar sejumah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan K3:

Undang-Undang K3

  1. Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
  2. Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  3. Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Peraturan Pemerintah terkait K3


  1. Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Peredaran Pestisida.
  2. peraturan Pemerintah No 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan.
  3. Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 1979 tentang keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi.

Peraturan Menteri terkait K3

  1. Permenakertranskop RI No 1 Tahun 1976 tentang Kewajiban Latihan Hiperkes Bagi Dokter Perusahaan.
  2. Permenakertrans RI No 1 Tahun 1978 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Pengangkutan dan Penebangan Kayu.
  3. Permenakertrans RI No 3 Tahun 1978 tentang Penunjukan dan Wewenang Serta Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli Keselamatan Kerja.
  4. Permenakertrans RI No 1 Tahun 19879 tentang Kewajiban Latihan Hygienen Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja bagi Tenaga Paramedis Perusahaan.
  5. Permenakertrans RI No 1 Tahun 1980 tentang Keselamatan Kerja pada Konstruksi Bangunan.
  6. Permenakertrans RI No 2 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.
  7. Permenakertrans RI No 4 Tahun 1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan.
  8. Permenakertrans RI No 1 Tahun 1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja.
  9. Permenakertrans RI No 1 Tahun 1982 tentang Bejana Tekan.
  10. Permenakertrans RI No 2 Tahun 1982 tentang Kualifikasi Juru Las.
  11. Permenakertrans RI No 3 Tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja.
  12. Permenaker RI No 2 Tahun 1983 tentang Instalasi Alarm Kebakaran Otomatis.
  13. Permenaker RI No 3 Tahun 1985 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pemakaian Asbes.
  14. Permenaker RI No 4 Tahun 1985 tentang Pesawat Tenaga dan Produksi.
  15. Permenaker RI No 5 Tahun 1985 tentang Pesawat Angkat dan Angkut.
  16. Permenaker RI No 4 Tahun 1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja.
  17. Permenaker RI No 1 Tahun 1988 tentang Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator Pesawat Uap.
  18. Permenaker RI No 1 Tahun 1989 tentang Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator Keran Angkat.
  19. Permenaker RI No 2 Tahun 1989 tentang Pengawasan Instalasi-instalasi Penyalur Petir.
  20. Permenaker RI No 2 Tahun 1992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
  21. Permenaker RI No 4 Tahun 1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
  22. Permenaker RI No 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
  23. Permenaker RI No 1 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja dengan Manfaat Lebih Dari Paket Jaminan Pemeliharaan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
  24. Permenaker RI No 3 Tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan.
  25. Permenaker RI No 4 Tahun 1998 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan tata Kerja Dokter Penasehat.
  26. Permenaker RI No 3 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lift untuk Pengangkutan Orang dan Barang.

Keputusan Menteri terkait K3

  1. Kepmenaker RI No 155 Tahun 1984 tentang Penyempurnaan keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep 125/MEN/82 Tentang Pembentukan, Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Wilayah dan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
  2. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum RI No 174 Tahun 1986 No 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi.
  3. Kepmenaker RI No 1135 Tahun 1987 tentang Bendera keselamatan dan Kesehatan Kerja.
  4. Kepmenaker RI No 333 Tahun 1989 tentang Diagnosis dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja.
  5. Kepmenaker RI No 245 Tahun 1990 tentang Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional.
  6. Kepmenaker RI No 51 Tahun 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.
  7. Kepmenaker RI No 186 Tahun 1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja.
  8. Kepmenaker RI No 197 Thun 1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya.
  9. Kepmenakertrans RI No 75 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) No SNI-04-0225-2000 Mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja.
  10. Kepmenakertrans RI No 235 Tahun 2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak.
  11. Kepmenakertrnas RI No 68 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.


Instruksi Menteri terkait K3

  1. Instruksi Menteri Tenaga Kerja No 11 Tahun 1997 tentang Pengawasan Khusus K3 Penanggulangan Kebakaran.


Surat Edaran dan Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan terkait K3

  1. Surat keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja RI No 84 Tahun 1998 tentang Cara Pengisian Formulir Laporan dan Analisis Statistik Kecelakaan.
  2. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan No 407 Tahun 1999 tentang Persyaratan, Penunjukan, Hak dan Kewajiban Teknisi Lift.
  3. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan No 311 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Kompetensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Teknisi Listrik.


C.     TEMUAN DAN ANALISA MASALAH

Peningkatan korban K3 setiap tahunnya terbilang massif. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, hingga akhir 2015 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 105.182 kasus. Sementara itu, untuk kasus kecelakaan berat yang mengakibatkan kematian tercatat sebanyak 2.375 kasus dari total jumlah kecelakaan kerja.

Di Indonesia, terdapat kasus kecelakaan yang setiap harinya dialami para buruh. Dari setiap 100 ribu tenaga kerja yang mengalami kecelakaan, 31,9% di antaranya terjadi di sektor konstruksi. Sektor pekerjaan yang juga menyumbang angka kecelakaan kerja tertinggi selanjunya adalah sektor manufaktur, 31,6%. Menyusul angka tersebut adalah kecelakaan sektor transportasi sebesar 9,1%. Padahal Jumlah tenaga kerja yang diserap dari sektor ini terus bertambah.

Berikut temuan berbagai masalah yang terjadi mengenai pelanggaran atas K3, antara lain:

1.       Sistem Kerja Outsourcing Bencana K3
Pelanggaran lainnya dalam hal penerapan sistem OS ini berupa tidak adanya perlindungan terhadap perhitungan dan kelangsungan hak di ppjp (vendor). Soal eksploitasi jam kerja pun ditemui. Meski hari libur nasional, para pekerja OS ini tetap bekerja normal dan tanpa dibayarkan uang lemburnya. Para pekerja OS juga tidak diberikan hak cuti, serta bekerja tanpa didukung oleh peralatan K3.

Khusus untuk K3 ini, resiko “kematian” dalam menjalankan tugas kerap terjadi. Baru-baru ini, pekerja os pln bekasi bernama Heri Irwansyah wafat ketika bertugas karena tidak adanya peralatan keselamatan kerja yang disediakan oleh perusahaan, ironisnya lagi tidak adanya pihak yang mau bertanggung jawab atas tragedi itu.

2.      P2K3: Minim Keterlibatan Buruh
Berdasarkan Pasal 2 Kepmen No. 155/1984 jo. Pasal 4 Permenaker No. 4/1987, fungsi Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) adalah:
a.       sebagai suatu badan pembantu di tempat kerja ialah memberikan saran-saran dan pertimbangan, baik diminta maupun tidak, kepada pengusaha/pengurus tempat kerja yang bersangkutan mengenai masalah-masalah keselamatan dan kesehatan kerja;
b.      menghimpun dan mengolah segala data dan/atau permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja yang bersangkutan, serta membantu pengusaha/pengurus tempat kerja mengadakan serta meningkatkan penyuluhan, pengawasan, latihan, dan penelitian keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja yang bersangkutan.
c.       Untuk mengembangkan sostem pengendalian bahaya K3, untuk mengevaluasi penyebab timbulnya kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja dan kemudian mengambil langkah-langkah yang diperlukan.

Secara kuantitas dan eksistensi P2K3 relatif mengembirakan, namun ternyata tidak semua P2K3 di perusahaan-perusahaan aktif menjalankan fungsinya. P2K3 hanya struktur mati belaka, padahal daftar keanggotaan dan struktur P2K3 memang tercatat dalam struktur perusahaan bahkan sudah dicatatkan pada Dinas Tenaga Kerja setempat.

Kebanyakan P2K3 yang ada tidak bergerak secara proaktif untuk mengusulkan ataupun memastikan adanya mekanisme perlindungan yang efektif di tempat kerja. Rata-rata P2K3 bertindak passif menunggu perintah atau membatasi diri hanya untuk merespon masalah saja.

Lebih lanjut, terdapat dua permasalahan pokok dalam P2K3, yaitu kurangnya partisipasi serikat buruh dalam keanggotaan P2K3 dan pimpinan tertinggi di struktur P2K3 dipegang oleh pemimpin tertinggi perusahaan.

3.      SMK3 Diacuhkan
Sistem manajemen K3 adalah seperagkat aturan-aturan teknis yang ditetapkan oleh perusahaan berkaitan dengan upaya perlindungan K3. Namun, faktanya hanya sedikit perusahaan yang menerapkan SMK3.

Perusahaan-perusahaan lebih memilih standar sertifikasi OHSAS 18001 sebagai pengganti SMK3. Hal ini tak lain didasari oleh tuntutan dan prasyarat yang diajukan buyer yang mengharuskan standar setifikasi tersebut dibandingkan SMK3. Jika dibandingkan diantara SMK3 dan OHSAS 18001 tidaklah jauh berbeda fungsi dan tujuannya. Bahkan SMK3 merupakan salah satu perlindungan K3 paling komprehensif di Asia.

4.      Kurangnya Pengawas K3 di Disnaker Setempat
1)      Fungsi sistem pengawasan ketenagakerjaan adalah:[3]
a.       menjamin penegakan ketentuan hukum mengenai kondisi kerja dan perlindungan pekerja saat melaksanakan pekerjaannya, seperti ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan, penggunaan pekerja anak dan orang muda serta masalah-masalah lain yang terkait, sepanjang ketentuan tersebut dapat ditegakkan oleh pengawas ketenagakerjaan;
b.      memberikan keterangan teknis dan nasehat kepada pengusaha dan pekerja mengenai cara yang paling efektif untuk menaati ketentuan hukum;
c.       memberitahukan kepada pihak yang berwenang mengenai terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan yang secara khusus tidak diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku.
2)      Tugas lain yang dapat menjadi tanggung jawab pengawas ketenagakerjaan tidak boleh menghalangi pelaksanaan tugas pokok pengawas atau mengurangi kewenangannya dan ketidakberpihakannya yang diperlukan bagi pengawas dalam berhubungan dengan pengusaha dan pekerja.

Namun ironisnya pegawai pengawas K3 diseluruh Indonesia tidak berbanding lurus dengan banyaknya perusahaan. Satu pengawas K3 mempunyai tugas untuk mengawasi ratusan dalam satu wilayah yang dirasa mustahil. Oleh karenanya beberapa Disnakertrans setempat hanya memprioritaskan pengawasan K3 bagi perusahaan-perusahaan dengan resiko kecelakaan kerja yang tinggi dan fatal.

Akibat dari minimnya pengawasan yang dilakukan oleh pejabat pengawas K3, seringkali kasus-kasus K3 tidak pernah tertangani secara serius. Jumlah kasus kecelakaan kerja tahun 2015, yang sudah masuk dalam ranah penyelidikan dan dinyatakan sudah Lengkap (P-21) jumlahnya mencapai 81 perusahaan. Kontras sekali dengan jumlah kecelakaan kerja yang terjadi pada tahun 2015 yang jumlahnya mencapai 105.182 kasus. Terlebih lagi sanksi bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran atas K3 tidak berat yaitu Dipidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan max. 3 bulan atau  denda max. 100.000,- (Seratus ribu rupiah) sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.


D.    LANGKAH ADVOKASI KE DEPAN
1.       Membuat Analisa Awal
Analisa awal ini dibuat ketika mendapatkan laporan atau informasi mengenai kasus K3 di masing-masing basis atau tingkatan perusahaan. Diperlukan sebagai untuk membuat perencanaan, modal sebelum menentukan penelusuran lebih lanjut ataupun memutuskan mengambil suatu kasus atau tidak.

2.      Bentuk Lingkar Inti
Lingkar inti: orang-orang yang memiliki kesamaan visi dan tidak diragukan integritasnya, di mana suatu tim kerja yang siap bekerja purna waktu dan solid. Mereka yang nantinya akan memegang kendali selama advokasi tersebut dijalankan.

Lingkaran inti dalam advokasi ini antara lain, jejaring serikat buruh, federasi bahkan konfederasi baik ditingkatan kawasan, daerah maupun nasional, jejaring lawyer, organisasi non pemerintah (Ornop), Lembaga Bantuan Hukum, tokoh masyarakat, dll.

Dalam lingkar inti dilakukan pembagian peran dan tugas (koordinator, motivator/propagandis, analis, pencari data, penyusun taktik strategi, pemantau keseluruhan proses dll). Dalam proses pembentukan lingkar inti, sangat penting untuk kuatkan korban. Korban harus ditransformasikan menjadi pembela hak.

3.      Kumpulkan Data dan Informasi
Setelah mendapatkan informasi awal adanya suatu pelanggaran K3 di basis atau tingkatan perusahaan, maka informasi atau data tersebut haruslah ditelusuri atau dikumpulkan.

Informasi atau data terdiri dari: kronologi peristiwa, bentuk pelanggaran, kerugian korban, jumlah korban, pelaku, pihak terkait lainnya, dan tindakan negara/pemerintah. Prinsip 5W1H (What, Who, When, Where, Why, dan How) dapat digunakan.

4.      Analisis data
Analisis data terdiri dari:
·         Menentukan akar masalah
·         Melihat analisa hukum dan sosial
·         Tujuan
·         Sasaran
·         Pemetaan aktor
Menganalisa siapa aktor yang pro, kontra, dan netral dalam kasus yang ditangani..
·         Analisa SWOT:
-    Strength: Kekuatan yang dimiliki.
-    Weakness: Kelemahan yang dimiliki.
-    Opportunity: peluang apa saja yang terbuka
-    Threat: Ancaman apa saja yang dihadapi

Catatan: Kekuatan dan kelemahan sifatnya internal. Sedangkan peluang dan ancaman sifatnya eksternal.

Analisis data ini dapat berupa pendapat hukum atau legal opinion untuk kebutuhan internal ataupun dipergunakan untuk kebutuhan eksternal antara lain, bahan untuk berargumentasi ketika mengahadapi lawan atau aparat penegak hukum, kebutuhan koresprodensi, menghadap ke berbagai lembaga-lembaga negara (misal: Komnas HAM) dan lain sebagainya.

5.      Merancang Sasaran dan Strategi
Dalam merancang sasaran dan strategi dapat menggunakan tolak ukur SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic, Timely). Tepat sasaran, dapat diukur (ada indicator yang jelas bisa dipantau dan diketahui), dapat dicapai, realistis (aliansi advokasi ini mempunyai kemampuan dan sumberdaya), dan memiliki batasan waktu.
6.      Membangun Jejaring
Jejaring kerja sama antara lain NGO lokal – nasional – internasional, Lawfirm, media, pemerintah, DPR, sesama korban, tokoh, dan ormas. Jejaring ini dilakukan dengan harapan meringankan beban kerja, meningkatkan solidaritas, dan menguatkan daya tawar. Contoh kerja sama dalam jejaring kerja antara lain membagi tugas dalam riset, kampanye, dll.

7.      Pengorganisiran dan Pelibatan Masyarakat
Dalam advokasi kebijakan diperlukan upaya perluasan gerakan dan informasi kepada public, di mana opini public yang terbangun menjadi sangat massif dan menjadi perhatian khusus dari masyarakat, pemerintah maupun penegak hukum.

Ada beberapa kegiatan yang dilakukan untuk membangun opini public tersebut, seperti: memperluaskan gerakan ke beberapa kawasan industry, ke daerah-daerah, membuat posko pengaduan pelanggaran pidana perburuhan baik di daerah maupun pusat, diskusi public yang bertemakan perlindungan dan advokasi K3 dengan mengundang berbagai stakeholder, melakukan pendidikan K3 di basis-basis dan lain sebagainya.

Inti dari pengorganisiran buruh dalam advokasi kebijakan ini adalah pendidikan yang partisipatif untuk mengugah kesadaran buruh untuk menegakkan hukum perlindungan K3 dan advokasi sejumlah masalah K3 di lingkungan kerja mereka.

8.      Pengumpulan Dana
Advokasi membutuhkan modal yang cukup besar. Sumber: Iuran rutin masing-masing anggota aliansi, sponsor, donatur, membuat unit usaha, dan lain sebagainya.

9.      Memilih Langkah Advokasi
·         Litigasi.
Sejumlah kasus-kasus yang telah terhimpun nantinya akan dilaporkan ke Kepolisian di tingkatan Provinsi dan prosesnya harus dikawal hingga laporan tersebut diproses hingga akhirnya dapat disidangkan di Pengadilan Negeri setempat.

·         Non litigasi.
Menggunakan mekanisme diluar saluran hukum formal yang tersedia antara lain: Korespondensi/surat menyurat, musyawarah, petisi, unjuk rasa, konferensi pers, audiensi dengan pihak lembaga negara, kampanye nasional maupun internasional dan lain sebagainya

·         Mekanisme Internasional.
Yaitu menggunakan saluran internasional untuk melaporkan permasalahan yang sedang didampingi. Misalnya melaporkan kasus-kasus tersebut ke PBB dll.

10.   Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut
Advokasi merupakan proses yang tidak singkat sehingga diperlukan evaluasi terus menerus dan rencana tindak lanjut yang sesuai hasil evaluasi dan tepat sasaran. Setiap rencana dan pelaksanaannya selalu ada positif dan negatifnya nya.

Tahapan dan strategi di atas tentunya tidak bersifat mutlak, tergantung dari situasi dan kondisi kasus yang dihadapi. Kejelian dari Aliansi dalam memetakan situasi ekonomi politik itu menjadi keharusan. Misalkan saja hambatan yang sering terjadi dalam advokasi kebijakan adalah pejabat-pejabat di berbagai lembaga telah berganti orang, contoh: pergantian Menteri Ketenagakerjaan dan KAPOLRI.




[1] Makalah ini disampaikan oleh Wirdan Fauzi, S.H dalam FGD yang diselenggarakan oleh SERBUK Indonesia pada 06 Desember 2016 di LBH Jakarta.
[3] Pasal 2 Konvensi ILO Nomor 81 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Dalam Industri Dan Perdagangan yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 21 Tahun 2003.

Minggu, 26 Februari 2017

LANJUTAN SKENARIO POLITIK UPAH MURAH ALA PRESIDEN JOKO WIDODO

Pesan Presiden Joko Widodo semasa kempanye yang akan mensejahterakan kaum buruh Indonesia nyata-nyata hanya buwalan janji-janji politik semata. Melalui serangkaian kebijakan yang dibuat oleh Presiden kita tersebut justru melakukan pemiskinan secara struktural kepada kaum buruh di Indonesia yang diantaranya dengan mengeluarkan kebijakan politik upah murah.

Pertengahan Tahun 2015, Indonesia dilanda guncangan ekonomi yang cukup kuat. Untuk mengatasi krisis ekonomi yang bisa melanda perekonomian Indonesia, pemerintahan Presiden Joko Widodo mengeluarkan rangkain paket kebijakan. Di antara paket kebijakan tersebut adalah  peningkatan kesejahteraan pekerja, antara lain formula upah minimum provinsi (UMP), memperluas penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) khususnya bagi pekerja yang terkena PHK dan pemberian kredit modal kerja untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dituangkan dalam paket kebijakan jilid IV.

Paket kebijakan jilid IV yang menjadi dasar Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (selanjutnya disebut PP Pengupahan). Sejak bergulirnya isu akan segera disahkannya PP Pengupahan, buruh dari berbagai organisasi melakukan gelombang penolakkan pengesahan tersebut dan gelombang penolakkan terhadap Peraturan Pemerintah ini semakin besar paska ditanda tangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 23 Oktober 2015.


A.    Buruh Menolak Pelanggengan Politik Upah Murah dan Pemiskinan secara Struktural

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang disahkan oleh Pemerintah dinilai merupakan bagian dari pelanggangan politik upah murah dan pemiskinan struktural. Akibatnya sudah dipastikan buruh dan keluarganya semakin terbebani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau dapat dikatakan semakin menjauhnya kesejahteran para kaum pekerja ini. Lebih lanjut kebijakan yang dkeluakan Pemerintah ini telah mencederai rasa keadilan sosial, Karena yang sejahtera bukan kaum pekerja Indonesia melainkan para pengusaha atau kaum pemodal yang artinya buruh semakin tertindas.

Dasar kekhawatiran tersebut dapat kita lihat dari Analisa, antara lain:

PEMBENTUKKAN PP PENGUPAHAN TIDAKLAH PARTISIPATIF


Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 96 dalam BAB XI Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan: bahwa masyarakat berhak memberi masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Bahwa masayarakat sebagaimana dimaksud adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-Undangan.

Bahwa dalam proses pembentukan PP Pengupahan dalam hal ini Pemerintah tidak memberi ruang kepada pekerja atau buruh untuk memberikan masukan menyangkut materi dan substansi Peraturan tersebut, sehingga dinilai dalam proses pembentukannya bertentangan dengan Pasal 96 UU 12 Tahun 2011.

PP PENGUPAHAN BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA



Bahwa secara tegas perlindungan hak asasi tentang kehidupan yang layak diatur dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, Hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak Jo. Pasal 40 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan layak.

Bahwa dengan diterbitkannya PP Pengupahan dalam Pasal 44 dijelaskan bahwa Upah minimum dihitung dengan Fomula Perhitungan upah minimum yaitu Upah Minimum yang akan ditetapkan = upah minimum tahun berjalan {upah minimum tahun berjalan X (inflasi % + Pertumbuhan Ekonomi)}, atau secara singkat upah minimum dipengaruhi dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi, atau dalam kata lain apabila inflasi dan pertumbuhan ekonomi menurun berdampak juga pada Upah Minimum yang akan ditetapkan.

Bahwa ada kemungkinan dimana inflasi menurun dan perkembangan ekonomi menurun terjadi penuruhan pada Upah Minimum atau dengan kata lain ada pengesampingan Kebutuhan Hidup Layak dalam menentukan Upah Minimum. Dan tidak memberi jaminan kehidupan yang layak apabila inflasi dan pertumbuhan ekonomi menurun. Hal ini jelas bertentangan dengan jaminan atas kehidupan layak yang dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang, atau dengan secara keseluruhan substansi pada PP Pengupahan tidak mengakomodir perlindungan terhadap Hak berkehidupan yang layak.

PP PENGUPAHAN MEREDUKSI FUNGSI DEWAN PENGUPAHAN & PERAN SERIKAT PEKERJA DALAM PENENTUAN UPAH MINIMUM


Bahwa berdasarkan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan:

“Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.”

Kemudian lebih lanjut dewan pengupahan diatur dalam Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004, yang menjelaskan tata kerja Dewan Pengupahan yang wajib melakukan pelaporan minimal 1 (satu) tahun sekali kepada Presiden melalui Menteri. Kemudian diatur dalam Permen No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, memberi kewenangan kepada Dewan Pengupahan untuk melakukan survei dengan membentuk Tim yang terdiri dari anggota Dewan Pengupahan dari unsur tripartit, unsur perguruan tinggi/pakar, dengan mengikutsertakan Badan Pusat statistik setempat.

Dengan demikian merujuk pada Pasal 89 UU ketenagakerjaan, bahwa (Komponen Hidup Layak)  yang ditetapkan memperhatikan Rekomendasi Dewan Pengupahan melalui survei dan dalam hal ini mengikutsertakan Badan Pusat Statistik untuk menentukan KHL.

Kemudain memperhatikan PP Pengupahan mereduksi kewenangan Dewan Pengupahan untuk melakukan survei dan menentukan KHL, hal tersebut seperti tertera pada Pasal 43 ayat (7) yang menjelaskan Kajian yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional sebagaimana menggunakan data dan informasi yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Dengan lahirnya PP Pengupahan ini membatasi kewenangan Dewan Pengupahan yang tadinya menentukan KHL berdasarkan survei dan membuat laporan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali, setelah lahirnya PP Pengupahan Dewan Pengupahan hanya Menggunakan data dan Informasi dari Badan Pusat Statistik, yang nantinya menjadi rekomendasi KHL. Sehingga secara tidak langsung menghilangkan Kewenangan Dewan Pengupahan. Hal ini jelas bertentangan dengan Amanat Peraturan Menteri No. 13 Tahun 2012 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang pada prinsipnya memberi kewenangan Dewan Pengupahan untuk survey pasar dan menentukan KHL setiap Tahun yang kemudian akan menjadi rekomendasi upah minimum.

UPAH MINIMUM DI INDONESIA MASIH LEBIH RENDAH JIKA DIBANDINGKAN DENGAN NEGARA-NEGARA LAIN DI ASEAN


berdasarkan data Organisasi Buruh Internasional (InternationalLaborOrganization/ILO), upah minimum buruh di Indonesia hanya sebesar US$ 171 per bulan atau sekitar Rp 2,30 juta (kurs Rp 13.500 per dolar AS). Dimana upah minimum di Indonesia ebih rendah dibandingkan Vietnam yang sebesar US$ 187, upah buruh di Malaysia sebesar US$ 390, sementara buruh di Thailand dan Filipina masing-masing digaji US$ 392 dan US$ 360 setiap bulan. Sedangkan upah minimum buruh di Singapura mencapai US$ 3.527 per bulan. Apabila kenaikan upah ditentukan hanya sebatas inflansi + pertumbuhan ekonomi, maka setiap tahun penyesuaian upah di Indonesia hanya dalam kisaran 10 persen (bahkan bisa lebih kecil). Padahal harga kebutuhan pokok di Indonesia penuh dengan ketidakpastian.

PERATURAN PENGUPAHAN MENENTUKAN UPAH MINIMUM DENGAN MENGHILANGKAN PERHITUNGAN HIDUP LAYAK

Pasal 88 UU Ketenagakerjaan Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Kebutuhan hidup Layak diatur dalam Permen No. 13 Tahun 2012 Dewan Pengupahan menetukan KHL melalui survei seperti dijelaskan Pasal 3 ayat (1) Nilai masing-masing komponen dan jenis KHL diperoleh melalui survei harga yang dilakukan secara berkala.

Salah satu pengaturan yang baru di dalam PP Pengupahan pada Pasal 43 ayat (5) adalah kebutuhan hidup layak ditinjau 5 (lima) tahun sekali. Kemudian pada Pasal 43 ayat (8) menjelaskan peninjauan jenis dan komponen akan kebutuhan hidup layak dilakukan oleh Menteri atas hasil kajian Dewan Pengupahan Nasional.

Selanjutnya pada Pasal 43 ayat (7) PP Pengupahan menerangkan Data yang digunakan oleh Dewan Pengupahan Nasional bersumber dari data yang diolah oleh lembaga bidan statistik. Hal ini berarti Dewan pengupahan tidak lagi melakukan survey KHL setiap tahunnya. Dalam PP Pengupahan tidak begitu jelas bagaimana kontribusi KHL terhadap kenaikan upah minimum.

Bahwa PP Pengupahan menjelaskan tentang upah minimum dihitung berdasarkan formula upah minimum, bahwa formula upah minimum diatur dalam pasal 44 ayat (2)  menjelasakan: “Formula perhitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % Δ PDBt)}”

Kemudian pada penjelasan Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 dijabarkan sebagai berikut:

Formula perhitungan Upah Minimum:
UMn=UMt+{ UMt x (inflasit + % Δ PDBt)}

Keterangan:
UMn
:
Upah minimum yang akan ditetapkan.
UMt
:
Upah minimum tahun berjalan.
inflasit
:
Inflasi yang dihitung dari periode september tahun yang lalu sampai dengan periode September tahun berjalan.
Δ PDBt
:
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang dihitung dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang mencakup periode kwartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kwartal I dan II tahun berjalan.

Formula perhitungan Upah minimum adalah Upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian antara Upah Minimum tahun berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi nasional tahun berjalan dan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahun berjalan.


Dari ketentuan PP Pengupahan menjelaskan bahwa KHL yang sudah ditentukan oleh Dewan Pengupahan tidaklah menjadi dasar penentuan upah minimum, hal ini dikarenakan setelah ditentukannya KHL atau upah minimum tahun berjalan kemudian dikalikan pada presentase Inflasi dan pertumbuhan Ekonomi hal ini pertama membuat upah minimum tidak lagi ditetapkan sesuai Kebutuhan Hidup Layak, tetapi KHL dipengaruhi oleh inflasi dan Pertumbuhan ekonomi, apabila pertumbuhan inflasi dan Ekonomi menurun menjadikan Upah minimum yang ditetapkan menjadi di bawah KHL apabila merujuk Pada PP 78 Tahun 2015. Atau dengan kata lain bisa membuat penentuan upah minimun dibawah Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang secara jelas bertentangan dengan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menjelaskan upah minimum harus berdasarkan kebutuhan hidup layak dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi bukan menjadikan presentase pertumbuhan ekonomi menjadi indikator penetapan upah minimum. [WF]

Pembuktian Sederhana Dalam Permohonan Kepailitan Dan PKPU

  Bahwa di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“ UU Kepailitan dan PKPU ”) tidak mengatur asas pembuktian secara sederha...