Perlindungan
dan pemenuhan hak atas kesehatan dan keselematan kerja (K3) bagi pengusaha
maupun bagi buruh dan organisasi buruh belum menjadi isu utama dalam perjuangan
kesejahteraan buruh. Advokasi mengenai K3 tak terdengar gaugnya dibandingkan
dengan advokasi pengupahan yang setiap tahunnya disuarakan oleh seluruh buruh
di Indonesia.
Dirjen
Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PPK dan
K3) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Muji Handaya mengatakan, jumlah
kecelakaan kerja dari tahun ke tahun mengalami tren peningkatan. Untuk
total jumlah kecelakaan kerja siap tahunnya mengalami peningkatan hingga 5%,
sedangkan untuk kecelakaan kerja berat
tren peningkatannya cukup lumayan besar yakni sekitar 5%-10% setiap tahunnya.[2]
Angka
kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi. Mengutip data Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, hingga akhir 2015 telah terjadi
kecelakaan kerja sebanyak 105.182 kasus. Sementara itu, untuk kasus kecelakaan
berat yang mengakibatkan kematian tercatat sebanyak 2.375 kasus dari total
jumlah kecelakaan kerja.
Dengan
melihat data di atas, menimbulkan pertanyaan besar bagi kita semua. Sejauh mana
perlindungan K3 bagi buruh-buruh di Indonesia?. Telah sama-sama kita ketahui
bahwa Indonesia telah mempunyai peraturan perundang-undangan mengenai
perlindungan K3.
B.
ASPEK
HUKUM
Upaya
pemenuhan dan perlindungan hak K3 yang dilakukan oleh Pemerintah dengan
mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain 3 (tiga)
undang-undang, 3 (tiga) Peraturan Pemerintah, 26 (dua puluh enam) Peraturan
Menteri Tenaga Kerja, 11 (sebelas) Keputusan Menteri Tenaga Kerja, 1 (satu)
Instruksi Menteri Tenaga Kerja dan 3 (tiga) Surat Edaran dan Keputusan
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.
Berikut daftar sejumah peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perlindungan K3:
Undang-Undang
K3
|
|
Peraturan
Pemerintah terkait K3
|
|
Peraturan
Menteri terkait K3
|
|
Keputusan
Menteri terkait K3
|
|
Instruksi
Menteri terkait K3
|
|
Surat
Edaran dan Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan terkait K3
|
|
C.
TEMUAN DAN
ANALISA MASALAH
Peningkatan
korban K3 setiap tahunnya terbilang massif. Data Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, hingga akhir 2015 telah terjadi kecelakaan kerja
sebanyak 105.182 kasus. Sementara itu, untuk kasus kecelakaan berat yang
mengakibatkan kematian tercatat sebanyak 2.375 kasus dari total jumlah
kecelakaan kerja.
Di
Indonesia, terdapat kasus kecelakaan yang setiap harinya dialami para buruh.
Dari setiap 100 ribu tenaga kerja yang mengalami kecelakaan, 31,9% di antaranya
terjadi di sektor konstruksi.
Sektor pekerjaan yang juga menyumbang angka kecelakaan kerja tertinggi
selanjunya adalah sektor manufaktur, 31,6%. Menyusul angka tersebut adalah
kecelakaan sektor transportasi sebesar 9,1%. Padahal Jumlah tenaga kerja yang
diserap dari sektor ini terus bertambah.
Berikut
temuan berbagai masalah yang terjadi mengenai pelanggaran atas K3, antara lain:
1.
Sistem
Kerja Outsourcing Bencana K3
Pelanggaran
lainnya dalam hal penerapan sistem OS ini berupa tidak adanya perlindungan
terhadap perhitungan dan kelangsungan hak di ppjp (vendor). Soal eksploitasi
jam kerja pun ditemui. Meski hari libur nasional, para pekerja OS ini tetap
bekerja normal dan tanpa dibayarkan uang lemburnya. Para pekerja OS juga tidak
diberikan hak cuti, serta bekerja tanpa didukung oleh peralatan K3.
Khusus
untuk K3 ini, resiko “kematian” dalam menjalankan tugas kerap terjadi.
Baru-baru ini, pekerja os pln bekasi bernama Heri Irwansyah wafat ketika
bertugas karena tidak adanya peralatan keselamatan kerja yang disediakan oleh
perusahaan, ironisnya lagi tidak adanya pihak yang mau bertanggung jawab atas
tragedi itu.
2.
P2K3:
Minim Keterlibatan Buruh
Berdasarkan
Pasal 2 Kepmen No. 155/1984 jo. Pasal 4 Permenaker No. 4/1987, fungsi Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) adalah:
a.
sebagai suatu badan pembantu di tempat kerja
ialah memberikan saran-saran dan pertimbangan, baik diminta maupun tidak,
kepada pengusaha/pengurus tempat kerja yang bersangkutan mengenai
masalah-masalah keselamatan dan kesehatan kerja;
b.
menghimpun dan mengolah segala data dan/atau
permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja yang bersangkutan, serta membantu
pengusaha/pengurus tempat kerja mengadakan serta meningkatkan penyuluhan,
pengawasan, latihan, dan penelitian keselamatan dan kesehatan kerja di tempat
kerja yang bersangkutan.
c.
Untuk mengembangkan sostem pengendalian bahaya
K3, untuk mengevaluasi penyebab timbulnya kecelakaan kerja dan/atau penyakit
akibat kerja dan kemudian mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
Secara
kuantitas dan eksistensi P2K3 relatif mengembirakan, namun ternyata tidak semua
P2K3 di perusahaan-perusahaan aktif menjalankan fungsinya. P2K3 hanya struktur
mati belaka, padahal daftar keanggotaan dan struktur P2K3 memang tercatat dalam
struktur perusahaan bahkan sudah dicatatkan pada Dinas Tenaga Kerja setempat.
Kebanyakan
P2K3 yang ada tidak bergerak secara proaktif untuk mengusulkan ataupun
memastikan adanya mekanisme perlindungan yang efektif di tempat kerja.
Rata-rata P2K3 bertindak passif menunggu perintah atau membatasi diri hanya
untuk merespon masalah saja.
Lebih
lanjut, terdapat dua permasalahan pokok dalam P2K3, yaitu kurangnya partisipasi
serikat buruh dalam keanggotaan P2K3 dan pimpinan tertinggi di struktur P2K3
dipegang oleh pemimpin tertinggi perusahaan.
3.
SMK3
Diacuhkan
Sistem
manajemen K3 adalah seperagkat aturan-aturan teknis yang ditetapkan oleh
perusahaan berkaitan dengan upaya perlindungan K3. Namun, faktanya hanya
sedikit perusahaan yang menerapkan SMK3.
Perusahaan-perusahaan
lebih memilih standar sertifikasi OHSAS 18001 sebagai pengganti SMK3. Hal ini
tak lain didasari oleh tuntutan dan prasyarat yang diajukan buyer yang
mengharuskan standar setifikasi tersebut dibandingkan SMK3. Jika dibandingkan
diantara SMK3 dan OHSAS 18001 tidaklah jauh berbeda fungsi dan tujuannya.
Bahkan SMK3 merupakan salah satu perlindungan K3 paling komprehensif di Asia.
4.
Kurangnya
Pengawas K3 di Disnaker Setempat
1)
Fungsi sistem pengawasan ketenagakerjaan adalah:[3]
a.
menjamin penegakan ketentuan hukum mengenai
kondisi kerja dan perlindungan pekerja saat melaksanakan pekerjaannya, seperti
ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan
dan kesejahteraan, penggunaan pekerja anak dan orang muda serta masalah-masalah
lain yang terkait, sepanjang ketentuan tersebut dapat ditegakkan oleh pengawas
ketenagakerjaan;
b.
memberikan keterangan teknis dan nasehat kepada
pengusaha dan pekerja mengenai cara yang paling efektif untuk menaati ketentuan
hukum;
c.
memberitahukan kepada pihak yang berwenang
mengenai terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan yang secara khusus tidak
diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku.
2)
Tugas lain yang dapat menjadi tanggung jawab
pengawas ketenagakerjaan tidak boleh menghalangi pelaksanaan tugas pokok
pengawas atau mengurangi kewenangannya dan ketidakberpihakannya yang diperlukan
bagi pengawas dalam berhubungan dengan pengusaha dan pekerja.
Namun
ironisnya pegawai pengawas K3 diseluruh Indonesia tidak berbanding lurus dengan
banyaknya perusahaan. Satu pengawas K3 mempunyai tugas untuk mengawasi ratusan
dalam satu wilayah yang dirasa mustahil. Oleh karenanya beberapa Disnakertrans
setempat hanya memprioritaskan pengawasan K3 bagi perusahaan-perusahaan dengan
resiko kecelakaan kerja yang tinggi dan fatal.
Akibat
dari minimnya pengawasan yang dilakukan oleh pejabat pengawas K3, seringkali
kasus-kasus K3 tidak pernah tertangani secara serius. Jumlah kasus kecelakaan
kerja tahun 2015, yang sudah masuk dalam ranah penyelidikan dan dinyatakan
sudah Lengkap (P-21) jumlahnya mencapai 81 perusahaan. Kontras sekali dengan
jumlah kecelakaan kerja yang terjadi pada tahun 2015 yang jumlahnya mencapai 105.182
kasus. Terlebih lagi sanksi bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran atas K3
tidak berat yaitu Dipidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman
kurungan max. 3 bulan atau denda max.
100.000,- (Seratus ribu rupiah) sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat 2 UU
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
D.
LANGKAH
ADVOKASI KE DEPAN
1. Membuat
Analisa Awal
Analisa
awal ini dibuat ketika mendapatkan laporan atau informasi mengenai kasus K3 di
masing-masing basis atau tingkatan perusahaan. Diperlukan sebagai untuk membuat
perencanaan, modal sebelum menentukan penelusuran lebih lanjut ataupun
memutuskan mengambil suatu kasus atau tidak.
2. Bentuk
Lingkar Inti
Lingkar
inti: orang-orang yang memiliki kesamaan visi dan tidak diragukan
integritasnya, di mana suatu tim kerja yang siap bekerja purna waktu dan solid.
Mereka yang nantinya akan memegang kendali selama advokasi tersebut dijalankan.
Lingkaran
inti dalam advokasi ini antara lain, jejaring serikat buruh, federasi bahkan
konfederasi baik ditingkatan kawasan, daerah maupun nasional, jejaring lawyer,
organisasi non pemerintah (Ornop), Lembaga Bantuan Hukum, tokoh masyarakat, dll.
Dalam
lingkar inti dilakukan pembagian peran dan tugas (koordinator,
motivator/propagandis, analis, pencari data, penyusun taktik strategi, pemantau
keseluruhan proses dll). Dalam proses pembentukan lingkar inti, sangat penting
untuk kuatkan korban. Korban harus ditransformasikan menjadi pembela hak.
3. Kumpulkan
Data dan Informasi
Setelah
mendapatkan informasi awal adanya suatu pelanggaran K3 di basis atau tingkatan
perusahaan, maka informasi atau data tersebut haruslah ditelusuri atau
dikumpulkan.
Informasi
atau data terdiri dari: kronologi peristiwa, bentuk pelanggaran, kerugian
korban, jumlah korban, pelaku, pihak terkait lainnya, dan tindakan
negara/pemerintah. Prinsip 5W1H (What, Who, When, Where, Why, dan How) dapat
digunakan.
4. Analisis
data
Analisis data terdiri dari:
·
Menentukan akar masalah
·
Melihat analisa hukum dan sosial
·
Tujuan
·
Sasaran
·
Pemetaan aktor
Menganalisa siapa aktor
yang pro, kontra, dan netral dalam kasus yang ditangani..
·
Analisa SWOT:
-
Strength: Kekuatan yang dimiliki.
- Weakness:
Kelemahan yang dimiliki.
-
Opportunity: peluang apa saja yang terbuka
- Threat:
Ancaman apa saja yang dihadapi
Catatan:
Kekuatan dan kelemahan sifatnya internal. Sedangkan peluang dan ancaman
sifatnya eksternal.
Analisis data ini dapat berupa pendapat hukum atau
legal opinion untuk kebutuhan internal ataupun dipergunakan untuk kebutuhan
eksternal antara lain, bahan untuk berargumentasi ketika mengahadapi lawan atau
aparat penegak hukum, kebutuhan koresprodensi, menghadap ke berbagai lembaga-lembaga
negara (misal: Komnas HAM) dan lain sebagainya.
5. Merancang
Sasaran dan Strategi
Dalam
merancang sasaran dan strategi dapat menggunakan tolak ukur SMART (Specific,
Measurable, Achievable, Realistic, Timely). Tepat sasaran, dapat diukur (ada
indicator yang jelas bisa dipantau dan diketahui), dapat dicapai, realistis
(aliansi advokasi ini mempunyai kemampuan dan sumberdaya), dan memiliki batasan
waktu.
6. Membangun
Jejaring
Jejaring
kerja sama antara lain NGO lokal – nasional – internasional, Lawfirm, media,
pemerintah, DPR, sesama korban, tokoh, dan ormas. Jejaring ini dilakukan dengan
harapan meringankan beban kerja, meningkatkan solidaritas, dan menguatkan daya
tawar. Contoh kerja sama dalam jejaring kerja antara lain membagi tugas dalam
riset, kampanye, dll.
7. Pengorganisiran
dan Pelibatan Masyarakat
Dalam
advokasi kebijakan diperlukan upaya perluasan gerakan dan informasi kepada
public, di mana opini public yang terbangun menjadi sangat massif dan menjadi
perhatian khusus dari masyarakat, pemerintah maupun penegak hukum.
Ada
beberapa kegiatan yang dilakukan untuk membangun opini public tersebut,
seperti: memperluaskan gerakan ke beberapa kawasan industry, ke daerah-daerah,
membuat posko pengaduan pelanggaran pidana perburuhan baik di daerah maupun pusat,
diskusi public yang bertemakan perlindungan dan advokasi K3 dengan mengundang
berbagai stakeholder, melakukan pendidikan K3 di basis-basis dan lain
sebagainya.
Inti dari
pengorganisiran buruh dalam advokasi kebijakan ini adalah pendidikan yang
partisipatif untuk mengugah kesadaran buruh untuk menegakkan hukum perlindungan
K3 dan advokasi sejumlah masalah K3 di lingkungan kerja mereka.
8. Pengumpulan
Dana
Advokasi
membutuhkan modal yang cukup besar. Sumber: Iuran rutin masing-masing anggota
aliansi, sponsor, donatur, membuat unit usaha, dan lain sebagainya.
9. Memilih
Langkah Advokasi
·
Litigasi.
Sejumlah
kasus-kasus yang telah terhimpun nantinya akan dilaporkan ke Kepolisian di
tingkatan Provinsi dan prosesnya harus dikawal hingga laporan tersebut diproses
hingga akhirnya dapat disidangkan di Pengadilan Negeri setempat.
·
Non litigasi.
Menggunakan
mekanisme diluar saluran hukum formal yang tersedia antara lain:
Korespondensi/surat menyurat, musyawarah, petisi, unjuk rasa, konferensi pers,
audiensi dengan pihak lembaga negara, kampanye nasional maupun internasional
dan lain sebagainya
·
Mekanisme Internasional.
Yaitu
menggunakan saluran internasional untuk melaporkan permasalahan yang sedang
didampingi. Misalnya melaporkan kasus-kasus tersebut ke PBB dll.
10. Evaluasi
dan Rencana Tindak Lanjut
Advokasi
merupakan proses yang tidak singkat sehingga diperlukan evaluasi terus menerus
dan rencana tindak lanjut yang sesuai hasil evaluasi dan tepat sasaran. Setiap
rencana dan pelaksanaannya selalu ada positif dan negatifnya nya.
Tahapan
dan strategi di atas tentunya tidak bersifat mutlak, tergantung dari situasi
dan kondisi kasus yang dihadapi. Kejelian dari Aliansi dalam memetakan situasi
ekonomi politik itu menjadi keharusan. Misalkan saja hambatan yang sering terjadi
dalam advokasi kebijakan adalah pejabat-pejabat di berbagai lembaga telah
berganti orang, contoh: pergantian Menteri Ketenagakerjaan dan KAPOLRI.
[1]
Makalah ini disampaikan oleh Wirdan Fauzi, S.H dalam FGD yang diselenggarakan
oleh SERBUK Indonesia pada 06 Desember 2016 di LBH Jakarta.
[2] http://nasional.kontan.co.id/news/jumlah-kecelakaan-kerja-di-indonesia-masih-tinggi , diihat pada 5 Desember 2016.
[3] Pasal 2 Konvensi ILO Nomor 81 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan Dalam Industri Dan Perdagangan yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui UU Nomor 21 Tahun 2003.