Salah satu indikator
kemerdekaan berserikat adalah buruh dapat membentuk serikat, federasi maupun
konfederasi, bertindak bebas untuk menjalankan aktifitas serikat pekerja, dan
melakukan kegiatan pemogokan. Pengusaha yang sepihak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap buruh yang mogok merupakan pengusaha yang anti
terhadap kemerdekaan berserikat atau anti terhadap eksistensi suatu serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU No 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh (untuk selanjutnya disebut UU
SP/SB) menyatakan bahwa fungsi serikat pekerja/serikat buruh,
federasi, dan konfederasi adalah sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung
jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan uang
berlaku. Dalam pasal ini tersirat dengan jelas bahwa merencanakan mogok
melakukan mogok merupakan fungsi yang melekat pada serikat pekerja sebagai
indikator tercapainya kemerdekaan berserikat.
Ancaman terhadap pelaksanaan kegiatan serikat pekerja
merupapakan pelanggaran terhadap kemerdekaan berserikat, sebagaimana diatur dalam
Pasal 28 UU SP/SB yang jelas dan tegas menyatakan bahwa:
“Siapapun dilarang menghalang-halangi atau
memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus
atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota
dan/atau menjalankan atau tidak
menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara:
a.
melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan
jabatan, atau melakukan mutasi;
b.
tidak
membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c.
melakukan
intimidasi dalam bentuk apapun; melakukan kampanye anti pembentukan serikat
pekerja/serikat buruh.”
Pengusaha yang melakukan PHK terhadap buruh yang
menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh berarti melanggar Pasal 28
UU No 21 Tahun 2000. Pelanggaran terhadap pasal kemerdekaan
berserikat dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan yang dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU SP/SB.
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (untuk selanjutnya disebut UUK), dalam Pasal 144 UUK yang pada
pokoknya menerangkan bahwa terhadap mogok kerja yang sah pengusaha dilarang
untuk melakukan tindakan-tindakan seperti:
1.
Mengganti pekerja/buruh yang mogok
kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
2.
memberikan sanksi atau tindakan
balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat
pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Apabila pengusaha melakukan tindakan-tindakan di atas, maka pengusaha
dapat dikenakan sanksi dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu)
bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebagaimana
diatur dalam Pasal 187 UUK.
Dalam banyak kasus paska buruh melakukan mogok kerja,
pengusaha acap kali melakukan tindakan balas dendam dengan mem-PHK buruh yang
mogok tersebut dengan berbagai alasan, misalkan saja penilaian kerja yang
buruk, melanggar perintah kerja dan alasan lain yang tidak masuk diakal.
Konfederasi harus memperingatkan pengusaha melalui
Apindo, atau serikat pekerja/serikat buruh memperingatkan pimpinan perusahaan
untuk tidak melakukan PHK sepihak karena buruh sedang melaksanakan kegiatan
serikat pekerja. Jika pengusaha tetap melakukan PHK atau tindakan-tindakan balasan lainnya seperti yang telah diuraikan di atas, maka tim advokasi Konfederasi, Federasi dan SP/SB dapat melaporkan
pimpinan perusahaan karena melakukan tindak pidana anti serikat pekerja.