Kamis, 21 Juni 2018

BURUH/PEKERJA YANG MENINGGAL DUNIA KARENA KECELAKAAN KERJA, BERIKUT HAK-HAK YANG DIPEROLEH AHLI WARISNYA


BURUH/PEKERJA YANG MENINGGAL DUNIA KARENA KECELAKAAN KERJA, BERIKUT HAK-HAK YANG DIPEROLEH AHLI WARISNYA



Sepanjang Tahun 2015, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) mencatat telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 110.285 kasus di 16.082 perusahaan. Sedangkan pada Tahun 2016, tercatat 101.367 kasus di 17.069 perusahaan.  Adapun jumlah pekerja yang meninggal akibat kecelakaan kerja meningkat tajam dari 2015 ke 2016. Pada 2015, jumlah pekerja yang meninggal sebesar 530 orang. Sedangkan di 2016 sebesar 2.382 orang atau naik 349,4 persen.

Dari jumlah korban kecelakaan kerja di Tahun 2016 tersebut, 50% (lima puluh persennya) Korban adalah buruh yang bekerja di bidang konstruksi. Sekitar seribuan orang buruh konstruksi yang meninggal tersebut jelas mengindikasikan bahwa masih adanya kelalaian perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi telah mengabaikan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).

Lalu bagaimanakah pemenuhan hak-hak buruh/pekerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja?. Tulisan ini coba menguraikan sejumlah hak-hak buruh/pekerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Kecelakaan Kerja

Pengertian kecelakaan kerja dapat kita jumpai dalam Pasal Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN):

“Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.”

Pengertian kecelakaan kerja yang sama di atas dapat kita jumpai pula dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian.

Siapakah Yang Berhak Menerima Hak Buruh/Pekerja Yang Meninggal Dunia Akibat Kecelakaan Kerja

Sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berhak mendapatkan hak-hak buruh/pekerja yang meninggal dunia adalah ahli waris buruh/pekerja yang bersangkutan.

“Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”

Dalam pengaturan dalam pasal tersebut, terdapat dua landasan hukum yang mengatur mengenai hak-hak yang diperoleh, yaitu pertama, berdasarkan atas peraturan perundang-undang yang berlaku di Indonesia dan kedua, yang diatur secara khusus dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Ahli Waris Buruh/Pekerja Yang Meninggal Dunia

Bagi buruh/pekerja yang non muslim, maka pengaturan hak warisnya tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:
  1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
  2. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata).

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:

Golongan I
Suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata)

Golongan II
Orang tua dan saudara kandung Pewaris

Golongan III
Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris

Golongan IV
Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.


Sedangkan bagi buruh/pekerja yang beragama Islam, maka pengaturan hak warisnya tunduk kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun yang dapat dikatakan sebagai ahli waris  sebagaimana diatur dalam Pasal 174 ayat 1 dan ayat 2 KHI:
1.       Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari
a. Menurut hubungan darah:
-     golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
-     Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b.Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
2.       Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau  duda.


Hak-Hak Yang Diperoleh Buruh/Pekerja Yang Meninggal Dunia

Dalam UU SJSN dan Peraturan Turunannya

Peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat berupa pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mendapatkan manfaat berupa uang tunai apabila terjadi cacat total tetap atau meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU SJSN.

Manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan sekaligus kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia atau pekerja yang cacat sesuai dengan tingkat kecacatan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UU SJSN.

Adapun hak buruh/pekerja yang mengalami kecelakaan kerja berhak atas jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM). JKK sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat 2 huruf a dan huruf b PP 44/2015, berupa:
a. pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis yang meliputi:
1.          pemeriksaan dasar dan penunjang;
2.          perawatan tingkat pertama dan lanjutan;
3.          rawat inap kelas I rumah sakit pemerintah, rumah sakit pemerintah daerah, atau rumah sakit swasta yang setara;
4.          perawatan intensif;
5.          penunjang diagnostik;
6.          pengobatan;
7.          pelayanan khusus;
8.          alat kesehatan dan implan;
9.          jasa dokter/medis;
10.      operasi;
11.      transfusi darah; dan/atau

12.      rehabilitasi medik.

    bsantunan berupa uang meliputi:
1.          penggantian biaya pengangkutan Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja, ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya, termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan;
2.          santunan sementara tidak mampu bekerja;
3.          santunan Cacat sebagian anatomis, Cacat sebagian fungsi, dan Cacat total tetap;
4.          santunan kematian dan biaya pemakaman;
5.          santunan berkala yang dibayarkan sekaligus apabila Peserta meninggal dunia atau Cacat total tetap akibat Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja;
6.          biaya rehabilitasi berupa penggantian alat bantu (orthose) dan/atau alat pengganti (prothese);
7.          penggantian biaya gigi tiruan; dan/atau;

8.          beasiswa pendidikan anak bagi setiap Peserta yang meninggal dunia atau Cacat total tetap akibat kecelakaan kerja.

Lebih lanjut mengenai beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (2) huruf b angka 8 PP 44/2015, diberikan sebesar Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Peserta sebagaimana termaktud dalam Pasal 25 ayat 3 PP 44/2015.

Lalu bagaimana hak buruh/pekerja yang belum diikut sertakan oleh Perusahaan tempat mereka bekerja dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)?

Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 PP 44/2015, Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang belum mengikutsertakan Pekerjanya dalam program JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan, maka bila terjadi risiko terhadap Pekerjanya, Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib membayar hak Pekerja sesuai dengan ketetuan dalam PP 44/2015 ini.

Adapun hak buruh/pekerja dalam JKM sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 PP 44/2015, yaitu:
  1. Manfaat JKM dibayarkan kepada ahli waris Peserta, apabila Peserta meninggal dunia dalam masa aktif, terdiri atas:
a.       santunan sekaligus Rp 16.200.000,00 (enam belas juta dua ratus ribu rupiah);
b.      santunan berkala 24 x Rp200.000,00 = Rp4.800.000,00 (empat juta delapan ratus ribu rupiah) yang dibayar sekaligus;
c.       biaya pemakaman sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan
d.      beasiswa pendidikan anak diberikan kepada setiap Peserta yang meninggal dunia bukan akibat Kecelakaan Kerja dan telah memiliki masa iur paling singkat 5 (lima) tahun.
         2.       Beasiswa pendidikan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan sebanyak Rp                  12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Peserta.

Lalu bagaimana hak buruh/pekerja yang belum diikut sertakan oleh Perusahaan tempat mereka bekerja dalam program JKM?

Sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat 1 PP 44/2015, Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang belum mengikutsertakan Pekerjanya dalam program JKM kepada BPJS Ketenagakerjaan, bila terjadi resiko terhadap Pekerjanya, Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib membayar hak Pekerja sesuai dengan ketetuan dalam PP 44/2015 ini.

Bagi buruh/pekerja yang bekerja di sektor konstruksi, pengaturan mengenai JKK dan JKM secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminana Kematian Bagi Pekerja Harian Lepas, Borongan, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Sektor Usaha Jasa Konstruksi (Permenaker 44/2015). Manfaat JKK dan JKM dalam Permenaker ini diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 13.

UU Ketenagakerjaan

Selain hak-hak yang diperoleh sebagaimana dijelaskan di atas, berdasarkan Pasal 166 UU Ketenagakerjaan, dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.

Jumat, 01 Juni 2018

SUMBER HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA







Sumber hukum perburuhan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu hukum heteronom dan hukum otonom. Adapun yang dimaksud dengan hukum heteronom dan hukum otonom adalah:
  1. Hukum heteronom adalah semua peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berbentuk peraturan perundang-undangan perburuhan baik yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah dan berbagai aturan teknis lainnya.
  2. Hukum otonom adalah ketentuan-ketentuan di bidang perburuhan yang dibuat oleh buruh dan majikan.


Hukum Heteronom

Hukum Heteronom menjadi pedoman utama dalam membuat  hukum perburuhan otonom yang dilakukan oleh buruh dan majikan. Hukum heteronom dijadikan sebagai alat ukur utama dalam meverifikasi apakah hukum perburuhan otonom yang dibuat sudah seuai dengan standar normatif atau tidak.

Setiap pelaku hubungan kerja dalam membuat hukum perburuhan otonom minimal muatan atau isinya sama dengan hukum perburuhan heteronom, namun tidak boleh di bawah norma dari hukum yang bersangkutan.

Yang perlu menjadi catatan bersama adalah seringkali para pihak (buruh dan majikan) memasukkan muatan atau isi hukum otonom yang bertentangan dengan hukum heteronom sehingga membuat ketentuan yang berpotensi menimbulkan konflik. Sejatinya ketentuan yang diatur dalam hukum otonom haruslah muatannya lebih tinggi atas kesepakatan kedua belah pihak.

Adapun sumber hukum heteronom yang dimaksud sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. TAP MPR
  3. Undang-Undang
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  5. Peraturan Pemerintah
  6. Peraturan Presiden
  7. Peraturan Daerah Provinsi
  8. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota


Sumber Hukum Otonom

Sumber hukum otonom terdiri atas tiga yaitu, Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, dan Peraturan Perusahaan.

Hukum perburuhan otonom tidak boleh bertentangan dengan hukum perburuhan heteronom dan dianggap tidak berlaku sehingga yang berlaku adalah ketentuan yang ada di dalam hukum perburuhan heteronom.

Sehingga hukum perburuhan otonom baru berlaku apabila isi dari hukum perburuhan di atas atau minimal sama dengan norma hukum perburuhan heteronom. Artinya, isi hukum perburuhan otonom memiliki kualitas di atas hukum perburuhan heteronom. Artinya hukum perburuhan heteronom menjadi standar minimal yang harus dipatuhi dalam membuat hukum perburuhan otonom.

Bahkan sesungguhnya pembuatan hukum perburuhan otonom menjadi tidak perlu apabila isinya sama dengan hukum heteronom, karena sesungguhnya akan terjadi duplikasi yang tidak perlu antara hukum perburuhan otonom dan hukum perburuhan heteronom.

Perjuagan Serikat Buruh

Dengan melihat berbagai peraturan perudang-undangan yang kini dikeluarkan oleh Pemerintah semakin tidak berpihak kepada kaum buruh, maka sudah seharusnya kaum buruh memperjuangkan kesejahteraan mereka dan keluarganya secara kolektif di tingkat perusahaan.

Dengan mengorganisir buruh bergabung dalam serikat dan membangun kekuatan kolektif, maka buruh pun memperjuangkan pembentukan hukum otonom yaitu Perjanjian Kerja Bersama di tingkat perusahaan. Karena Perjanjian Kerja Bersama yang lahir atas kesepakatan antara majikan dengan buruh tersebut berlaku bagai undang-undang bagi mereka yang mengikatkan diri, artinya masing-masing pihak harus mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama.

Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama kualitasnya dapat lebih tinggi dari ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan perburuhan di Indonesia, oleh karenanya salah satu batu uji kekuatan kolektif serikat buruh yaitu di tingkatan perusahaan mereka mampu secara kolektif membuat Perjanjian Kerja Bersama yang mampu mensejahterakan buruh dan keluarganya.

Kesimpulan
  1. Pada dasarnya hukum perburuhan heteronom dibentuk dalam rangka menetapkan standar normatif yang dijadikan sebagai pedoman minimal bagi hukum perburuhan otonom agar dibuat dengan kualitas minimal seperti kualitas hukum perburuhan heteronom.
  2. Apabila hukum perburuhan otonom dibuat dengan kualitas lebih tinggi dari pada hukum perburuhan heteronom maka yang berlaku adalah hukum perburuhan otonom. Doktrin ini didasarkan atas  pemikiran bahwa fungsi dari hukum perburuhan otonom selain mengisi kekosongan hukum yang belum dibuat oleh hukum perburuhan heteronom juga memiliki fungsi sebagai pranata untuk meningkatkan kualitas hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja.
  3. Salah satu batu uji kekuatan kolektif serikat buruh yaitu di tingkatan perusahaan mereka mampu secara kolektif membuat Perjanjian Kerja Bersama yang mampu mensejahterakan buruh dan keluarganya.


Pembuktian Sederhana Dalam Permohonan Kepailitan Dan PKPU

  Bahwa di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“ UU Kepailitan dan PKPU ”) tidak mengatur asas pembuktian secara sederha...