Minggu, 29 Oktober 2017

PROBLEMATIKA PEMBORONGAN PEKERJAAN DAN PENYERAHAN JASA PEKERJA DI INDONESIA



A.   Pendahuluan

Praktek penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang dikenal di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua), yaitu pemborongan pekerjaan dan penyerahan jasa pekerja atau yang lebih populer disebut dengan outsourcing. Dua sistem penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diatur dalam Pasal 59 dan Pasal 64 s/d Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).

Praktek penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan ini menuai banyak kritik karena hal ini merupakan wujud nyata pengaruh kebijakan Pasar Kerja Fleksibel (PKF) yang bertujuan membebaskan pasar kerja dari berbagai hambatan terhadap mekanisme pertukaran di pasar yang berpotensi menimbulkan pasar tidak sempurna. Secara sederhana, Pasar Kerja Fleksibel adalah sebuat situasi yang para pelaku pasarnya-pencari dan pemberi kerja- berada dalam posisi sejajar dalam melakukan pertukaran.

Pada prakteknya, PKF menyebabkan munculnya precarious work yang merupakan konseptualisasi dari bentuk-bentuk pekerjaan yang rentan dan tidak stabil. Seharusnya PKF diberlakukan ketika syarat utama, yaitu kebijakan pasar tenaga kerja aktif dan jaminan sosial yang baik sudah dibangun oleh Pemerintah.

Pada tahun 2010 muncul uji materi UU Ketenagakerjaan terkait praktek penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang diputus melalui Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011. Uji materi ini dilakukan karena terjadi banyak pelanggaran ketenagakerjaan, diantaranya kontrak kerja yang melebihi ketentuan Pasal 59 ayat 1 UU Ketenagakerjaan dan pekerjaan yang dialihdayakan menyimpang dari ketentuan Pasal 65 ayat 2 dan Pasal 66 ayat 1 UU Ketenagakerjaan. Pelanggaran-pelanggaran ini berlangsung secara sistematis tanpa ada upaya pengawasan efektif dari Pengawas Ketenagakerjaan.

Menyikapi putusan MK tersebut, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi membuat Peraturan Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (“Permenakertrans 19/2012”) dan Surat Edaran Menakertrans No 4 Tahun 2013 tentang pedoman pelaksanaan permen tersebut (“SE Menakertrans 4/2013”).

Permenakertrans 19/2012, mengatur di antaranya:
1.    Persyaratan Pekerjaan yang dapat dilakukan Pemborongan;
2.    Kewajiban Asosiasi sektor usaha membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan sektor usaha masing-masing;
3.    Persyaratan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh dan Jenis Pekerjaan yang dapat dilakukan;
4.    Mekanisme Pengawasan.

Hal-hal yang diatur dalam Permen ini menimbulkan praktek diskriminasi yang menambah kedudukan buruh yang bekerja pada “pekerjaan yang dapat dialihdayakan” semakin rentan karena hak-hak ketenagakerjaannya semakin terlanggar. Oleh karena itu, tulisan ini hendak memaparkan analisa singkat atas Permenakertrans 19/2012 yang menimbulkan dampak negatif di sektor ketenagakerjaan.


B.    Analisis Hukum

1.    Persyaratan Pekerjaan Yang Dapat Diborongkan Dan Kewajiban Asosiasi Sektor Membuat Alur Kegiatan Proses Produksi

Pasal 3 ayat 2 Permenakertrans 19/2012 mengatur pekerjaan yang dapat diborongkan, yang pada intinya ketika pekerjaan ini tidak dilaksanakan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Namun yang patut disayangkan, pemerintah meminta asosiasi sektor usaha yang harus membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sesuai sektor usaha masing-masing.

Pasal 4
1)    Asosiasi sektor usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c harus membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sesuai sektor usaha masing-masing.
2) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan proses pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir serta memuat kegiatan utama dan kegiatan penunjang dengan memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).”

Penentuan oleh asosiasi sektor usaha patut dikritisi karena:
a.   Asosiasi cukup dengan menyepakati bersama alur produksi suatu sektor usaha dan hasil kesepakatan tersebut dianggap berlaku oleh dinas ketenagakerjaan setempat;
b.   Tidak ada verifikasi dari pemerintah selaku representasi negara untuk menguji apakah alur produksi tersebut benar-benar dibuat dengan prinsip akademis dan  akuntabilitas atau subyektif pengusaha untuk mengejar efisiensi modal;
c.     Tidak ada standar atau pengawasan dalam pembuatan alur produksi yang dilakukan  oleh pemerintah;
d. Asosiasi memiliki kemerdekaan memutuskan kehendak yang otonom, sehingga verifikasi apakah sektor usaha inti diklasifikasikan menjadi sektor penunjang tidak dapat dilakukan.

Karena itulah penentuan alur produksi untuk menentukan sektor inti dan penunjang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan serikat pekerja dan perguruan tinggi yang terdepan dalam bidang tersebut. Dengan metode yang valid dan dapat diverifikasi, keputusan mengklasifikasikan sektor inti dan penunjang dapat menjamin nasib buruh yang bekerja di sektor tersebut. Bukan lagi atas kemauan pengusaha yang secara otonom melakukan penggolongan pekerjaan sesuai keingingannya meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.

Hal ini sejalan dengan makna dari hubungan industrial itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 16 UU Ketenagakerjaan, dimana dalam suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah.

“Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

2. Munculnya Peluang Outsourcing Penyedia Jasa Pekerja Melalui Mekanisme Pemborongan Pekerjaan

Dalam Permenakertrans 19/2012 ini juga menimbulkan peluang, dimana pekerjaan yang dialihdayakan juga dilakukan dengan mekanisme pemborongan pekerjaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2:

“Pasal 3
1) Perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan.
2)  Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.  dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai peraturan perundang-undangan; dan
d.    tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.”

Akibatnya, peluang penyerahan sebagian pekerjaan melalui penyedia jasa pekerja (outsourcing) dibuka lewat pemborongan pekerjaan. Kedua jenis penyerahan sebagian pekerjaan ini punya norma yang berbeda dalam UU Ketenagakerjaan (pemborongan diatur dalam pasal 65 dan penyedia jasa pekerja dalam pasal 66), dimana pemborongan pekerjaan hanya untuk praktik pekerjaan yang menggunakan mekanisme pemborongan pekerjaan, bukan untuk outsourcing penyedia jasa pekerja.

Di dalam Permenakertrans ini menimbulkan peluang pemborongan pekerjaan dapat dilakukan untuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan melalui penyedia jasa pekerja.

3.    Diskriminasi 5 sektor usaha yang dapat dialihdayakan lewat mekanisme penyedia jasa pekerja

Pasal 17 ayat 3:
Kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.”

Penentuan 5 sektor usaha ini menjadi sangat diskriminatif karena dirumuskan secara baku dalam pengaturan ini tanpa kajian lebih lanjut tentang jenis-jenis usaha yang saat ini berkembang di masyarakat. Misalkan di sektor perbankan, tanpa ada security yang menjamin transaksi di bank akan aman, pasti akan terjadi perampokan merajalela di bank-bank yang beroperasi dan mengganggu kegiatan inti bank dalam memberikan pelayanan. Oleh karena itu, penentuan 5 (lima) jenis pekerjaan ini sangat diskriminatif dan mematikan peluang karir pekerja yang seharusnya dapat terus meningkat.

4.    Lemahnya Pengawasan Oleh Pengawas Ketenagakerjaan

Dalam Permenakertrans dan Surat Edaran ini juga menekankan adanya pengawasaan secara administrasi oleh Pengawas Ketenagakerjaan mulai dari pelaporan pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Jo. Pasal 6 Permenakertrans 19 tahun 2012:

“Pasal 5
Jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan harus dilaporkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan.”

“Pasal 6
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mengeluarkan bukti pelaporan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui pemborongan pekerjaan paling lambat 1 (satu) minggu sejak pelaporan dilaksanakan oleh perusahaan pemberi pekerjaan.”

Disini terlihat peran Pemerintah hadir dalam melakukan fungsinya sebagai pengawas dalam penerapan praktis sistem penyerahan sebagian pekerjaan (alih daya) dengan secara seksama mencermati pelaporan yang diajukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan terkait jenis pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan.

Namun, dalam praktiknya selama ini di lapangan ini menjadi permasalahan yang ditimbul dikemudian hari, dimana Pengawas Ketenagakerjaan lemah dalam melakukan pengawasan atas laporan pengajuan tersebut, yang seharusnya Pengawas Ketenagakerjaan tersebut harus ketat dan mengecek secara seksama apakah sudah tepatkah jenis pekerjaan yang diajukan untuk dapat dialihdayakan tersebut memang benar jenis pekerjaan penunjang. Disamping itu Pengawas Ketenagakerjaan juga harus bertindak tegas terhadap penyelewengan terkait praktik outsourcing itu sendiri.

Pengawasan secara administrasi diawali dengan kewajiban melaporkan kondisi ketenagakerjaan oleh perusahaan sesuai dengan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. Dari dokumen laporan ini kemudian dilakukan pemeriksaan ke perusahaan. Apabila dalam pemeriksaan di perusahaan ditemui pelanggaran norma penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain maka pengawas ketenagakerjaan menerbitkan nota pemeriksaan yang memerintahkan perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan dalam batas waktu yang ditetapkan. Apabila batas waktu yang ditetapkan perusahaan tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan penyelesaiannya melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

Berdasarkan ketentuan pada Bab V Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE.4/Men/III/2013, sanksi yang dikenakan terhadap perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku adalah pencabutan izin operasional perusahaan tersebut oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi berdasar rekomendasi dari kabupaten/kota. Dalam hal ini maka operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh di wilayah kerja kabupaten/kota yang bersangkutan, dihentikan. Namun, perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tersebut tetap bertanggung jawab memenuhi hak-hak pekerja/buruh.


C.    Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang telah kami uraikan di atas, maka dapat kami tarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:

  1. Penentuan jenis pekerjaan yang dapat dialihkan melalui pemborongan oleh asosiasi sektor usaha dapat mengancam jaminan kesejahteraan sosial dan kepastian hak-hak ketenagakerjaan;
  2. Permenakertrans 19/2012 ini menimbulkan kerancuan praktek penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui penyedia jasa pekerja atau pemborongan pekerjaan;
  3. Penentuan 5 (lima) sektor usaha yang dapat dilakukan oleh penyedia jasa pekerja adalah bentuk diskriminasi yang dilegalkan oleh pemerintah;
  4. Lemahnya pengawasan oleh Pengawas Ketenagakerjaan terhadap pelaporan yang diajukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan terkait jenis pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan.


D.   Rekomendasi
Dengan melihat sejumlah analisis di atas, kami merekomendasikan agar Permenakertrans Nomor 19 tahun 2012 agar segera direvisi dan Surat Edaran Menakertrans Nomor 04 tahun 2013 tersebut agar dicabut.

Minggu, 10 September 2017

SANKSI PIDANA BAGI PENGUSAHA YANG MELAKUKAN PHK TERHADAP BURUH YANG MELAKUKAN MOGOK KERJA

Salah satu indikator kemerdekaan berserikat adalah buruh dapat membentuk serikat, federasi maupun konfederasi, bertindak bebas untuk menjalankan aktifitas serikat pekerja, dan melakukan kegiatan pemogokan. Pengusaha yang sepihak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap buruh yang mogok merupakan pengusaha yang anti terhadap kemerdekaan berserikat atau anti terhadap eksistensi suatu serikat pekerja/serikat buruh.

Pasal 4 ayat 2 huruf e UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (untuk selanjutnya disebut UU SP/SB) menyatakan bahwa fungsi serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi adalah sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan uang berlaku. Dalam pasal ini tersirat dengan jelas bahwa merencanakan mogok melakukan mogok merupakan fungsi yang melekat pada serikat pekerja sebagai indikator tercapainya kemerdekaan berserikat.

Ancaman terhadap pelaksanaan kegiatan serikat pekerja merupapakan pelanggaran terhadap kemerdekaan berserikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU SP/SB yang jelas dan tegas menyatakan bahwa:

Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara:
a.    melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b.    tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c.     melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

Pengusaha yang melakukan PHK terhadap buruh yang menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh berarti melanggar Pasal 28 UU No 21 Tahun 2000. Pelanggaran terhadap pasal kemerdekaan berserikat dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan yang dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU SP/SB.

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (untuk selanjutnya disebut UUK), dalam Pasal 144 UUK yang pada pokoknya menerangkan bahwa terhadap mogok kerja yang sah pengusaha dilarang untuk melakukan tindakan-tindakan seperti:
1.      Mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
2.      memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.

Apabila pengusaha melakukan tindakan-tindakan di atas, maka pengusaha dapat dikenakan sanksi dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 187 UUK.

Dalam banyak kasus paska buruh melakukan mogok kerja, pengusaha acap kali melakukan tindakan balas dendam dengan mem-PHK buruh yang mogok tersebut dengan berbagai alasan, misalkan saja penilaian kerja yang buruk, melanggar perintah kerja dan alasan lain yang tidak masuk diakal.

Konfederasi harus memperingatkan pengusaha melalui Apindo, atau serikat pekerja/serikat buruh memperingatkan pimpinan perusahaan untuk tidak melakukan PHK sepihak karena buruh sedang melaksanakan kegiatan serikat pekerja. Jika pengusaha tetap melakukan PHK atau tindakan-tindakan balasan lainnya seperti yang telah diuraikan di atas, maka tim advokasi Konfederasi, Federasi dan SP/SB dapat melaporkan pimpinan perusahaan karena melakukan tindak pidana anti serikat pekerja.


Sabtu, 12 Agustus 2017

OBYEK VITAL NASIONAL SEKTOR INDUSTRI DAN PROBLEMATIKANYA

OBYEK VITAL NASIONAL SEKTOR INDUSTRI DAN PROBLEMATIKANYA[1]


“Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi.”

Tan Malaka – Aksi Massa


A.           Pendahuluan

Pada tanggal 05 Agustus 2004, Pemerintah yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional “selanjutnya disebut Keppres 63/2004”. Peraturan ini sebagai upaya Pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi ancaman serta gangguan yang mengakibatkan kerugian bagi hajat hidup orang banyak.

Namun, sejalannya waktu kebijakan Pemerintah ini memiliki beberapa permasalahan ketika diimplementasikan. Dampak yang begitu nyata adalah suatu aktifitas pengekangan terhadap aktifitas serikat pekerja atau serikat buruh. Melalui penentuan suatu pabrik atau kawasan industri menyebabkan perjuangan serikat buruh akhirnya dibenturkan dengan aparat Kepolisian bahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Celah dalam Keppres 63/2004 disinyalir atau diduga sebagai upaya pihak pemodal atau pengusaha untuk mengamankan kegiatan bisnis mereka tanpa ada gangguan aktifitas serikat buruh atau dapat dikatakan sebagai upaya pelemahan serikat buruh.


B.           Pengertian Obyek Vital Nasional

Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/ instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis.[2]

Obyek Vital Nasional yang bersifat strategis harus memenuhi salah satu, sebagian atau seluruh ciri-ciri sebagai berikut:[3]
a.      menghasilkan kebutuhan pokok sehari-hari;
b. ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan bencana terhadap kemanusiaan dan pembangunan;
c.    ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan kekacauan transportasi dan komunikasi secara nasional; dan/atau ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan pemerintahan negara.


C.     Alur Penentuan Obyek Vital Nasional Sektor Industri

Calon obyek vital nasional sektor industri yang strategis akan dinilai sesuai dengan pendekatan dengan 4 (empat) point di atas, setelah dinyatakan memenuhi salah satu, sebagian atau seluruh keempat point tersebut Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait dalam hal sektor industri meruapakan kewenangan dari Menteri Perindustrian.

Menteri Perindustrian akan menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian yang menetapkan perusahaan ataupun kawasan industri yang menjadi obyek vital nasional di sektor industri. Untuk selanjutnya dapat melihat bagan di bawah ini.
  
Berapa Jumlah Obyek Vital Sektor Industri sekarang?
Permen Perindustrian Nomor: 541/M-IND/Kep/12/2015 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 620/M-IND/Kep/12/2012 tentang Objek Vital Nasional Sektor Industri 

a.       Terdapat 64 (enam puluh empat) Obyek Vital Nasional Sektor Industri, yang di mana 15 (lima belas) di antaranya adalah kawasan industri;
b.    Terdapat 16 (enam belas) jenis industri, yaitu: bahan baku peledak, dirgantara, garam, gula, kertas, logam, miyak goreng/kelapa sawit, perkapalan, pertahanan, petrokimia, pupuk, semen, telekomunikasi, tepung terigu, kawasan industri, dan kertas;


D.          Obyek Vital Sektor Industri dan Permasalahan yang Ditimbulkan

Sejak diterbitkan Agustus 2004, Keppres 63/2004 telah menjadi suatu momok tersendiri bagi gerakan buruh di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Keppres 63/2004 cenderung melindungi kepentingan pemodal dan pengekangan terhadap aktifitas serikat buruh yang memperjuangakan hak-aknya baik menggunakan metode aksi dan mogok. Serikat buruh akhirnya dibentukan dengan aparat Kepolisian dan TNI.

1.       Mengamankan Kepentingan Pemodal Melalui Kebijakan

“Keamanan dan rasa aman merupakan salah satu kunci dan syarat keberhasilan suatu negara.  Jaminan keamanan bagi industri membuat lancarnya kegiatan produksi bagi industri, termasuk karyawannya.  Perusahaan OVNI mendapat nilai tambah demi terwujudnya iklim usaha suatu industri yang kondusif dan kepastian bagi para investor,”.[4] Kurang lebih ungkapan ini sering terlontar baik dari Pemerintah maupun Asosiasi Pengusaha, dimana isi kepala mereka tersebut sejatinya menitik beratkan kepada kepentingan investor yang pada akhirnya mengesampingkan perlindungan kepada buruh.

Dengan berlandaskan hal tersebut, pada akhirnya Pemerintah melahirkan kebijakan atau peraturan untuk mengakomodir kepentingan para investor atau pemodal dengan mengikatkan sejumlah perusahaan dan kawasan industri menjadi obyek vital nasional (OVNI) yang dituangkan melalui Keputusan Menteri Perindustrian sebagai amanat dari Keppres 63/2004.

Tercatat pada Tahun 2013 jumlah OVNI 38 (tiga puluh delapan) perusahaam dan 10 (sepuluh) kawasan industri, Tahun 2014 jumlah OVNI 49 (empat puluh sembilan) perusahaam dan 14 (empat belas) kawasan industri dan Tahun 2015 jumlah OVNI 49 (empat puluh sembilan) perusahaan dan 15 (lima belas) kawasan.

Dengan melihat data 3 (tiga) tahun terakhir, jumlah perusahaan dan kawasan industri yang diikatkan diri dengan OVNI cenderung meningkat. Sebagai contoh ketika kawasan industri diikatkan diri sebagai OVNI, maka terdapat ratusan perusahaan yang berada di kawasan industri tersebut berada dalam area OVNI misalkan saja Kawasan Berikat Nusantara dan Kawasan Industri Jababeka.

2.      Pengekangan Terhadap Hak-Hak Dasar Buruh

Dengan dalih mengatas namakan sebagai kawasan OVNI, buruh yang hendak menyuarakan penderitaannya atas pelanggaran hak-hak normatif oleh pengusaha dilarang menjalankan unjuk rasa dan mogok.

Pengusaha segera meminta bantuan Kepolisian dan TNI untuk menghalau aksi buruh. Dasar argumentasi yang digunakan oleh aparat Kepolisian dan TNI tersebut adalah ini merupakan OVNI dan dilarang untuk melakukan aksi sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Beberapa pembubaran aksi buruh yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan dalih OVNI:
a.       Tahun 2013, Serikat Pekerja Pindo Deli Pulp & Paper yang berlokasi di Karawang melakukan aksi demonstrasi menuntut kenaikan upah;
b.      Aksi buruh dibubarkan di Kawasan Industri MM 2100 (21 November 2014);
c.       Aksi buruh dalam mogok nasional dibubarkan di Kawasan Industri EJIP Cikarang pada Bulan November 2015 yang akhirnya berujung kepada penangkapan kepada sejumah buruh.

Padahal buruh melakukan unjuk rasa dan mogok merupakan hak dasar buruh yang dilindungi oleh konstitusi, peraturan perundang-undangan dan konvensi-kovensi internasional. Tindakan pembubaran yang tak sedikit berujung kepada kekerasan dan penangkapan telah mencedarai Hak Asasi Manusia dan hak konstitusional serikat buruh dalam menuntut pemenuhan hak-hak mereka.

Catatan menariknya adalah pada penjelasan Pasal 9 ayat 2 Huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, terdapat pengecualian untuk “obyek-obyek vital nasional” meliputi radius 500 meter dari pagar luar. Yang artinya adalah aksi tetap dapat dilakukan di obyek vital nasional dengan pembatasan radius 500 meter dari pagar luar.

3.      Tindakan Represif oleh Polisi dan TNI terhadap buruh

a.      Kepolisian

Polisi acap kali menjadi salah satu aktor yang selalu dibenturkan dengan serikat buruh. Tidak sedikit serikat buruh yang menjalankan aksi unjuk rasa dan mogok dibubarkan paksa oleh aparat Kepolisian.

Tak cukup hanya dibubarkan saja, pihak Kepolisian juga tak jarang melakukan tindakan kekerasan dan penangkapan dalam membubarkan aksi buruh. Sebagai contoh kasus adalah tindakan Kepolisian yang melakukan pembubaran paksa terhadap sejumlah buruh di Kawasan Industri EJIP Cikarang yang sedang melakukan mogok nasional pada tahun 2015 dan ditangkapnya sejumlah buruh untuk diinterogasi di Polres Kabupaten Bekasi.

Belum lagi tindakan Kepolisian yang telah melewati kewenangan yaitu menjadi “Mediator” dadakan. Bertindak layaknya Mediator yang coba memediasikan permasalahan antara pihak buruh dengan pihak perusahaan.

Jelas tindakan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dengan melakukan tindakan yang represif dan ikut campur dalam perselisihan hubungan industrial telah menyalahi aturan atau kode etik Kepolisian itu sendiri yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2005 Tentang Pedoman Tindakan Kepolisian Negara Republik Indonesia Pada Penegakan Hukum Dan Ketertiban Dalam Perselisihan Hubungan Industrial dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia.

b.      TNI

Keterlibatan TNI dalam perselisihan hubungan industrial di kawasan-kawasan OVNI sebenarnya tidak memiliki dasar hukum. Peran TNI adalah pertahanan bukan keamanan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Pengarahan TNI adalah tanggung jawab dan kewenangan Presiden yang sebelumnya sudah mendapatkan persetujuan dari DPR terlebih dahulu.[5] Oleh karenanya, keterlibatan TNI dalam pengamanan OVNI tidak boleh secara sewenang-wenang tanpa diketaui oleh Presiden dan persetujuan dari DPR.

Namun, kami menemukan sebanyak 31 (tiga puluh satu) MoU antara TNI dengan instansi lain. Dimana dua diantaranya MoU tersebut dilakukan dengan pihak Kawasan Berikat Nusantara dan Kawasan Industri Pulo Gadung.



[1] Disampaikan oleh WIRDAN FAUZI, S.H., Dalam Pendidikan Federasi Serikat Pekerja Pulp & Kertas Indonesia (FSP2KI) Korwil Jawa Barat Karawang, 13 November 2016.
[2] Pasal 1 ayat 1 Keppres 63/2004.
[3] Pasal 2 Keppres 63/2004.
[5] Pasal 17 UU TNI.

Pembuktian Sederhana Dalam Permohonan Kepailitan Dan PKPU

  Bahwa di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“ UU Kepailitan dan PKPU ”) tidak mengatur asas pembuktian secara sederha...