Sumber foto: economy.okezone.com
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial menganatkan Indonesia untuk
menjalankan sistem jaminan sosial yang dikelola oleh negara melalui Badan
Penyelenggaran Jaminan Sosial. Jaminan Sosial yang dimaksudkan dalam
undang-undang ini sebenarnya adalah Sistem Asuransi Sosial dengan mekanisme
pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran.
Kemudian,
Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Asuransi Sosial yang termaktub dalam UU
SJSN dan UU BPJS mengenai ketenagakerjaan dan kesehatan. Penyelenggaraan yang
bersifat wajib ini pun masih banyak pelangaran-pelanggaran yang terjadi, salah
satunya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh para pengusaha atau perusahaan
yang tidak mengikutsertakan para buruh/pekerjanya dalam program BPJS Ketenagakerjaan
dan BPJS Kesehatan.
Atas
pelanggaran yang terjadi, UU BPJS memberikan dua sanksi, yaitu sanksi
administrasi dan sanksi pidana bagi para pengusaha yang telah melakukan
pelanggaran dalam UU BPJS. Tulisan ini coba menguraikan sanksi pidana yang
termaktub dalam UU BPJS.
Subyek Hukum
Pengertian
subyek hukum (rechts subyek) adalah
setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedangkan pengertian
wewenag hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak.
Subyek Hukum adalah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan
kewajiban dalam lalu lintas hukum. Yang termasuk dalam pengertian subyek hukum
ialah manusia atau orang (Naturlijke
Person) dan Badan Hukum (VichtPerson)
misalnya: perseoraan, yayasan dan koperasi.
Dalam
UU SJSN dan UU BPJS subyek hukum dibagi menjadi dua, yaitu
1. Manusia
Dalam
kedua peraturan tersebut yang memiliki hak-hak subyektif dan kewenangan hukum
terdiri atas peserta BPJS, pekerja dan perseorangan sebagai pemberi kerja. Adapun
pengertian dari ketiga subyek tersebut:
a.
Peserta
adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam)
bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran;
b.
Pekerja
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam
bentuk lain;
c.
Peseorangan
sebagai pemberi kerja adalah yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar
gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.
2. Badan Hukum
Badan hukum menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro adalah suatu
badan yang di damping menusia perorangan juga dapat bertindak dalam hukum dan
yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan hukum
terhadap orang lain atau badan lain.
Terdapat dua badan hukum di dalam UU SJSN dan UU BPJS yaitu
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan pemberi kerja yang berstatus
badan hukum. Adapun pengertian kedua hal tersebut:
a.
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial;
b.
Pemberi
Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya
yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan
pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
3. Kewajiban Pemberi Kerja (Pengusaha)
Dalam UU BPJS terdapat dua kewajiban yang harus dilakukan
oleh pemberi kerja kepada pekerjanya, yaitu melakukan pendaftaran mengikuti
program BPJS dan membayarkan iuran BPJS.
Pendaftaran kepesertaan BPJS oleh pemberi pekerjaan
dilakukan secara bertahap mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta
kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. Pemberi Kerja,
dalam melakukan pendaftaran wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya
berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.[1]
Setelah pemberi kerja dan pekerjanya mendaftarkan dirinya
kepada BPJS, maka kewajiban berikutnya adalah pembayaran iuran BPJS. Pemberi
Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan
menyetorkannya kepada BPJS dan pemberi kerja wajib membayar dan menyetor Iuran
yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.[2]
Pelanggaran Oleh Pemberi Kerja Dan
Sanksinya
Pelanggaran hukum
adalah tindakan seseorang atau sekelompok yang melanggar aturan dan nggak
sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku. Pelanggaran hukum adalah bentuk
pembangkangan terhadap hukum yang berlaku.
Dalam UU BPJS terdapat
dua jenis yang berpotensi dilakukan oleh pemberi kerja atau pengusaha antara
lain tidak mendaftar dirinya dan pekerjanya, lalu tidak memungut dan membayarkan
iuran dirinya dan pekerjanya ke BPJS. Kedua pelanggaran tersebut memiliki
sanksi yang berbeda, adapun uraiannya sebagai berikut:
Menurut Pasal 15 ayat 1
dan 2 UU BPJS Pendaftaran
kepesertaan BPJS oleh pemberi pekerjaan dilakukan secara bertahap mendaftarkan
dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program
Jaminan Sosial yang diikuti. Pemberi kerja, dalam melakukan pendaftaran wajib
memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara
lengkap dan benar kepada BPJS.
Ketika pemberi pekerja
atau pengusaha yang tidak melakukan kewajibannya untuk mendaftarkan dirinya dan
pekerjanya maka dapat dikenai sanksi administrasi berupa a) teguran tertulis; b) denda;
dan/atau c) tidak mendapat pelayanan publik tertentu.[3]
Lalu bagaimanakah
sanksi yang dapat diberikan kepada pemberi kerja atau pengusaha yang tidak
melakukan kewajibannya yaitu memungut iuran BPJS kepada pekerjanya dan untuk
selanjutnya membayarkannya kepada BPJS?. Jawabannya adalah pengenaan sanksi pidana
dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat
1 dan 2 Jo. Pasal 55 UU BPJS.
Upaya Pelaporan Ke Kepolisian
Sebelum
melaporkan kepada pihak ke kepolisian ada beberapa hal yang mesti diperhatikan
oleh seorang pelapor yaitu pendokumentasian kasus yang ingin dilaporkan. Sering
kali hal ini luput dilakukan oleh pekerja yang mengalami masalah, secara tidak langsung
pun akan menjadi pengambat dalam pengungkapan pelanggaran yang dimaksud.
Langkah
pertama dalam proses pendokumentasian kasus adalah penulisan kronologis.
Kronologis disusun berdasarkan atas rentan waktu diawali dengan hubungan hukum
yaitu pada saat pertama kali bekerja di perusahaan atau pabrik hingga
permasalahan atau pelangaran timbul. Peristiwa hukum yang disusun harus
berdasarkan urutan waktu.
Setelah
kronologis tersebut disusun, maka perlu dilengkapi dengan pembuktian. Pembuktian
yang dimaksud bisa secara tertulis dan kesaksian. Bukti-bukti tersebut harus
dibuatkan daftar alat bukti yang nantinya akan mengungkapkan fakta hukum bahwa
telah terjadinya pelanggaran hukum oleh pemberi pekerjaan atau pengusaha. Adapun
beberapa bukti yang dapat dikumpulkan pada peristiwa hukum pelanggaran tidak memungut
dan tidak membayarkan iuran BPJS adalah perjanjian kerja (bagi pekerja kontrak),
surat keterangan pengangkatan pekerja tetap, slip gaji setiap bulannya, kartu
BPJS, rekening koran tabungan bank dan keterangan dari BPJS bahwa iuran tidak pernah
dibayarkan.
Setelah
kronologis, daftar alat bukti dan bukti-bukti sudah dipersiapkan dengan baik,
maka pelapor dapat melaporkan hal tersebut ke pihak kepolisian yang terdekat pada lokasi peristiwa pidana tersebut terjadi.
Adapun daerah hukum kepolisian meliputi :
a. Daerah hukum
kepolisian Markas Besar (MABES) POLRI untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Daerah hukum
kepolisian Daerah (POLDA) untuk wilayah Provinsi;
c. Daerah hukum
kepolisian Resort (POLRES) untuk wilayah Kabupaten/kota;
d. Daerah hukum
kepolisian Sektor (POLSEK) untuk wilayah kecamatan.
Namun untuk
kasus-kasus pidana perburuhan, buruh atau pekerja yang hendak melaporkan
peristiwa pidana sebaiknya melaporkannya ke POLDA. Hal ini dikarenakan masih
minimnya pengalaman dan pengetahuan kepolisian di POLRES dan POLSEK dalam
penanganan kasus pidana perburuhan.
Pada saat Anda berada di Kantor Polisi, silakan langsung menuju ke
bagian SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) yang merupakan unsur
pelaksana tugas pokok di bidang pelayanan kepolisian. SPKT memiliki tugas
memberikan pelayanan terhadap laporan/pengaduan masyarakat. Laporan oleh
pelapor dilakukan secara lisan maupun tertulis, setelah itu berhak mendapatkan
surat tanda penerimaan laporan dari penyelidik atau penyidik.