Senin, 02 April 2018

SANKSI PIDANA BAGI PENGUSAHA YANG TIDAK MENJALANKAN BPJS


Sumber foto: economy.okezone.com

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial menganatkan Indonesia untuk menjalankan sistem jaminan sosial yang dikelola oleh negara melalui Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial. Jaminan Sosial yang dimaksudkan dalam undang-undang ini sebenarnya adalah Sistem Asuransi Sosial dengan mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran.

Kemudian, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Asuransi Sosial yang termaktub dalam UU SJSN dan UU BPJS mengenai ketenagakerjaan dan kesehatan. Penyelenggaraan yang bersifat wajib ini pun masih banyak pelangaran-pelanggaran yang terjadi, salah satunya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh para pengusaha atau perusahaan yang tidak mengikutsertakan para buruh/pekerjanya dalam program BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

Atas pelanggaran yang terjadi, UU BPJS memberikan dua sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana bagi para pengusaha yang telah melakukan pelanggaran dalam UU BPJS. Tulisan ini coba menguraikan sanksi pidana yang termaktub dalam UU BPJS.

Subyek Hukum
Pengertian subyek hukum (rechts subyek) adalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedangkan pengertian wewenag hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak. Subyek Hukum adalah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Yang termasuk dalam pengertian subyek hukum ialah manusia atau orang (Naturlijke Person) dan Badan Hukum (VichtPerson) misalnya: perseoraan, yayasan dan koperasi.

Dalam UU SJSN dan UU BPJS subyek hukum dibagi menjadi dua, yaitu
1.    Manusia
Dalam kedua peraturan tersebut yang memiliki hak-hak subyektif dan kewenangan hukum terdiri atas peserta BPJS, pekerja dan perseorangan sebagai pemberi kerja. Adapun pengertian dari ketiga subyek tersebut:
a.    Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran;

b.    Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain;
c.     Peseorangan sebagai pemberi kerja adalah yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.


2.    Badan Hukum
Badan hukum menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro adalah suatu badan yang di damping menusia perorangan juga dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang lain atau badan lain.

Terdapat dua badan hukum di dalam UU SJSN dan UU BPJS yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan pemberi kerja yang berstatus badan hukum. Adapun pengertian kedua hal tersebut:
a.    Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial;
b.    Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.

3.    Kewajiban Pemberi Kerja (Pengusaha)
Dalam UU BPJS terdapat dua kewajiban yang harus dilakukan oleh pemberi kerja kepada pekerjanya, yaitu melakukan pendaftaran mengikuti program BPJS dan membayarkan iuran BPJS.

Pendaftaran kepesertaan BPJS oleh pemberi pekerjaan dilakukan secara bertahap mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.[1]

Setelah pemberi kerja dan pekerjanya mendaftarkan dirinya kepada BPJS, maka kewajiban berikutnya adalah pembayaran iuran BPJS. Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS dan pemberi kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.[2]

Pelanggaran Oleh Pemberi Kerja Dan Sanksinya
Pelanggaran hukum adalah tindakan seseorang atau sekelompok yang melanggar aturan dan nggak sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku. Pelanggaran hukum adalah bentuk pembangkangan terhadap hukum yang berlaku.

Dalam UU BPJS terdapat dua jenis yang berpotensi dilakukan oleh pemberi kerja atau pengusaha antara lain tidak mendaftar dirinya dan pekerjanya, lalu tidak memungut dan membayarkan iuran dirinya dan pekerjanya ke BPJS. Kedua pelanggaran tersebut memiliki sanksi yang berbeda, adapun uraiannya sebagai berikut:

Menurut Pasal 15 ayat 1 dan 2 UU BPJS Pendaftaran kepesertaan BPJS oleh pemberi pekerjaan dilakukan secara bertahap mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. Pemberi kerja, dalam melakukan pendaftaran wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.

Ketika pemberi pekerja atau pengusaha yang tidak melakukan kewajibannya untuk mendaftarkan dirinya dan pekerjanya maka dapat dikenai sanksi administrasi berupa a) teguran tertulis; b) denda; dan/atau c) tidak mendapat pelayanan publik tertentu.[3]

Lalu bagaimanakah sanksi yang dapat diberikan kepada pemberi kerja atau pengusaha yang tidak melakukan kewajibannya yaitu memungut iuran BPJS kepada pekerjanya dan untuk selanjutnya membayarkannya kepada BPJS?. Jawabannya adalah pengenaan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 1 dan 2 Jo. Pasal 55 UU BPJS.

Upaya Pelaporan Ke Kepolisian
Sebelum melaporkan kepada pihak ke kepolisian ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh seorang pelapor yaitu pendokumentasian kasus yang ingin dilaporkan. Sering kali hal ini luput dilakukan oleh pekerja yang mengalami masalah, secara tidak langsung pun akan menjadi pengambat dalam pengungkapan pelanggaran yang dimaksud.

Langkah pertama dalam proses pendokumentasian kasus adalah penulisan kronologis. Kronologis disusun berdasarkan atas rentan waktu diawali dengan hubungan hukum yaitu pada saat pertama kali bekerja di perusahaan atau pabrik hingga permasalahan atau pelangaran timbul. Peristiwa hukum yang disusun harus berdasarkan urutan waktu.

Setelah kronologis tersebut disusun, maka perlu dilengkapi dengan pembuktian. Pembuktian yang dimaksud bisa secara tertulis dan kesaksian. Bukti-bukti tersebut harus dibuatkan daftar alat bukti yang nantinya akan mengungkapkan fakta hukum bahwa telah terjadinya pelanggaran hukum oleh pemberi pekerjaan atau pengusaha. Adapun beberapa bukti yang dapat dikumpulkan pada peristiwa hukum pelanggaran tidak memungut dan tidak membayarkan iuran BPJS adalah perjanjian kerja (bagi pekerja kontrak), surat keterangan pengangkatan pekerja tetap, slip gaji setiap bulannya, kartu BPJS, rekening koran tabungan bank dan keterangan dari BPJS bahwa iuran tidak pernah dibayarkan.

Setelah kronologis, daftar alat bukti dan bukti-bukti sudah dipersiapkan dengan baik, maka pelapor dapat melaporkan hal tersebut ke pihak kepolisian yang terdekat pada lokasi peristiwa pidana tersebut terjadi. Adapun daerah hukum kepolisian meliputi :
a.   Daerah hukum kepolisian Markas Besar (MABES) POLRI untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.  Daerah hukum kepolisian Daerah (POLDA) untuk wilayah Provinsi;
c.   Daerah hukum kepolisian Resort (POLRES) untuk wilayah Kabupaten/kota;
d.   Daerah hukum kepolisian Sektor (POLSEK) untuk wilayah kecamatan.

Namun untuk kasus-kasus pidana perburuhan, buruh atau pekerja yang hendak melaporkan peristiwa pidana sebaiknya melaporkannya ke POLDA. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengalaman dan pengetahuan kepolisian di POLRES dan POLSEK dalam penanganan kasus pidana perburuhan.

Pada saat Anda berada di Kantor Polisi, silakan langsung menuju ke bagian SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) yang merupakan unsur pelaksana tugas pokok di bidang pelayanan kepolisian. SPKT memiliki tugas memberikan pelayanan terhadap laporan/pengaduan masyarakat. Laporan oleh pelapor dilakukan secara lisan maupun tertulis, setelah itu berhak mendapatkan surat tanda penerimaan laporan dari penyelidik atau penyidik.


[1] Pasal 15 ayat 1 dan 2 UU BPJS.
[2] Pasal 19 ayat 1 dan 2 UU BPJS.
[3] Pasal 17 ayat 1 UU BPJS.

Pembuktian Sederhana Dalam Permohonan Kepailitan Dan PKPU

  Bahwa di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“ UU Kepailitan dan PKPU ”) tidak mengatur asas pembuktian secara sederha...