Sabtu, 10 Maret 2018

PENGABAIAN DAN PELANGGARAN HAK BURUH PERIKANAN INDONESIA


PENGABAIAN DAN PELANGGARAN
HAK BURUH PERIKANAN INDONESIA[1]


Sumber foto:  http://fadhillah-xnd.blogspot.co.id


A.       Pendahuluan

Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peranan dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam penyediaan bahan pangan protein, perolehan devisa dan penyediaan lapangan kerja. Dalam sektor perikanan sumberdaya manusia, modal dan teknologi menempati posisi yang sangat strategis dalam mewujudkan tersedianya barang dan jasa.

Pemerintahan Joko Widodo mengeluarkan kebijakan program strategis untuk membangun industri perikanan yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.

Industrialisasi di sektor perikanan yang dicanangkan oleh Pemerintah tersebut semata-mata hanya  berorientasi kepada  percepatan pertumbuhan ekonomi dari sektor perikanan, namun masih minim terhadap perlindungan hukum bagi buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan penangkap ikan baik perusahan dalam negeri maupun perusahaan perikanan asing.

Jumlah buruh yang bekerja di sektor perikanan terhitung sebanyak 12 juta orang, namun yang tersertifikasi hanya 44.300 orang. Kondisi mereka begitu rentan akan pelanggaran hukum, dimana menurut Kementerian Luar Negeri Indonesia, untuk periode 2010-2015, Pemerintah Indonesia membantu 2.368 nelayan Indonesia di luar negeri yang telah mengalami kejahatan terkait IUU. Kasus utama yang dialami oleh Nelayan Indonesia adalah perselisihan perburuhan (1148 kasus), penyelundupan manusia (833 kasus), Perdagangan Manusia (287 kasus), penangkapan ikan ilegal (94 kasus) dan penyalahgunaan narkoba (6 kasus).

Dalam tulisan ini, penulis hendak memaparkan temuan pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang dialami oleh buruh di sektor perikanan, bagaimana aspek perlindungan ketenagakerjaan hukum bagi buruh perikanan, dan strategi advokasi ke depan menjawab permasalahan ketenagakerjaan buruh perikanan.

B.       Temuan Pelanggaran

Temuan Penulis atas pelanggaran ketenagakerjaan di sektor perikanan, sangat masif dan terstruktur. Dimensi pelanggaran tersebut mengarah kepada praktek kejahatan, jika saja dilihat dari ragam tindakan pelanggaran yang dilakukan.

1.         Karakteristik Pelanggaran Sistem Kerja Kontrak

Ada dua hal utama pelanggaran ketenagakerjaan yang dilakukan disoal sistem kerja buruh perikanan di antaranya:
a.       Perjanjian kerja yang tidak menguraikan hak-hak buruh perikanan;
b.      Para buruh perikanan dominan bekerja di posisi pekerjaan inti;
c.       Kontrak kerja para buruh perikanan ini juga sering berulang-ulang dengan jenis pekerjaan dan tempat bekerja yang sama.

Pelanggaran lainnya dalam hal penerapan sistem kerja  kontrak ini berupa eksploitasi jam kerja. Mereka bekerja rata-rata di atas 14-18 jam sehari. Meski hari libur nasional, para buruh perikanan tetap bekerja normal dan tanpa dibayarkan uang lemburnya. Para buruh perikanan juga tidak diberikan hak cuti, serta bekerja tanpa di dukung oleh peralatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

International Labour Organization (ILO) telah mengidentifikasi perikanan komersial sebagai pekerjaan yang berbahaya dengan tingkat kecelakaan dan kematian yang sangat tinggi di dunia.[2] Pekerjaan pada kapal penangkap ikan ini memiliki resiko yang tinggi karena berada di laut dengan kondisi cuaca yang tidak menentu, bersifat kotor dikarenakan berhadapan dengan ikan yang mudah membusuk, menggunakan berbagai alat penangkapan ikan, dan lokasi penangkapan ikan yang selalu berpindah-pindah hingga jangkauan wilayahnya akan sangat luas yang melampaui batas-batas teritorial suatau negara bahkan sampai kelaut lepas. Besarnya jangkauan wilayah kerja tersebut mengakibatakan lamanya pelayaran kapal-kapal penangkap ikan bervariasi. Lamanya masa pelayaran kapal-kapal ini di pengaruhi juga oleh ukuran kapal yang digunakan. Kapal berukuran kecil biasanya hanya berlayar satu hari sedangkan kapal besar bisa berlayar hingga berbulan lamanya.[3]

2.        Mempekerjakan Anak

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 mengungkapkan bahwa jumlah anak di Indonesia dengan kelompok umur 5–17 tahun sebesar 58,8 juta anak, dengan 4,05 juta anak atau 6,9 persen di antaranya dianggap sebagai anak–anak yang bekerja. total tersebut, sejumlah 1,76 juta anak atau 43,3 persen adalah pekerja anak dan 20,7 persennya bekerja pada bentuk–bentuk pekerjaan terburuk.

Berdasarkan observasi lapangan, wawancara dengan kepala desa, panglima laot, tokoh masyarakat dan jumlah rumah tangga perikanan dalam data statistik perikanan Propinsi NAD tahun 2005, jumlah anak-anak yang terlibat dalam berbagai aktifitas di sektor perikanan di tujuh kabupaten lokasi penelitian diperkirakan mencapai + 2.000-4.000 orang. Dari jumlah tersebut 1.000-1.500 orang dapat dikategorikan pekerja anak dimana sekitar 500-750 bekerja dalam kategori jenis pekerjaan terburuk untuk anak (the worst forms of child labor).[4]

Sedangkan untuk tingkatan pendidikan mereka, tamatan Sekolah Dasar sebanyak 198 orang, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak  81 orang, Sekolah Menegah Atas (SMA) sebanyak 71 orang dan Tidak sekolah sebanyak 285 orang.[5]

3.        Pengabaian dan Pelanggaran Hak Normatif

Meski sudah menjadi hak dasar, tidak jadi jaminan hak-hak normatif para buruh perikanan dengan mudah diperoleh atau diberikan.

Dalam temuan Penulis, mendapati adanya pengabaian dan pelanggaran hak-hak normatif buruh perikanan. Berikut ini karakteristik pelanggaran hak normatif yang dialami oleh buruh-buuruh perikanan diantaranya:
a.       Upah murah/di bawah Upah Minimum;
b.      Upah lembur dan cuti yang tidak diberikan;
c.       Hak atas K3;
d.      Tidak ada istirahat;
e.       BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan tidak diberikan.

4.        Lemahnya Pengawasan dan Perlindungan Buruh Migran Perikanan

Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tenaga kerja Indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing berturut-turut pada tahun 2011 sebanyak 4.371 orang, 2012 sebnyak 5.123 orang, 2013 sebanyak 5.559, 2014 sebanyak 4.810 orang, dan tahun 2015 (hingga Februari) sebanyak 5.116 orang telah di tempatkan bekerja di kapal berbendera asing di luar negeri dari 30 negara di dunia.

Menurut catatan buruh migran persoalan yang dialami oleh ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal asing 92% dialami oleh ABK yang bekerja di kapal ikan dan hanya 8% dialami oleh mereka yang bekerja di kapal niaga. Kasus-kasus yang sering menimpa ABK indonesia ini diantaranya: kecelakaan, perkelahian, perdagangan manusia, disharmonisasi dengan kapten kapal, tidak terpenuhinya hak-hak, dan terjadi tindak kekerasan.

Kementerian Luar Negeri dan perwakilan RI per-September 2015 kasus ABK yang ditangani terkait masalah pidana tahun 2012 sebanyak 542 kasus, tahun 2013 sebnyak 280 kasus, tahun 2014 sebanyak 147 kasus, dan tahun 2015 sebanyak 121 kasus. Perdata tahun 2012 dan 2013 masing-masing satu kasus, keiimigrasian tahun 2012 sebanyak 159 kasus, tahun 2013 sebanyak 64 kasus, 2014 sebanyak 87 kasus dan tahun 2015 sebanyak 7 kasus. Ketenagakerjaan tahun 2012 sebanyak 445 kasus, 2013 sebanyak 280 kasus, 2014 sebanyak 233 kasus, dan 2015 sebanyak 77 kasus.

C.       Analisis Aspek Hukum

Dari aspek yuridis, kasus perburuhan di sektor perikanan bisa disimpulkan telah melanggar aturan hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini dapat dilihat dari berulangnya kejadian serupa di berbagai perusahaan perikanan baik dalam negeri mapupun luar negeri.

Kondisi lemahnya penegakan hukum, seolah juga melegitimasikan tindakan segenap pengusaha-pengusaha di sektor perikanan ini. Sehingga, mereka beramai-ramai melakukan pelanggaran serupa di bidang perburuhan.

Berikut hasil kajian penulis soal aturan hukum yang telha banyak dilanggara oleh perusahaan-perusahaan di sektor perikanan:

No.
Jenis Pelanggaran
Peraturan Perundang-Undangan yang Dilanggar

1.
Pelanggaran sistem kerja kontrak
1.       Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.       Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011;
3.       Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014;
4.       Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 96/PUU-XI/2013;
5.       Permenaker No. 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan
6.       Kepmennakertrans No. 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu;
7.       Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan;
8.       Peraturan Kemenhub dan Transportasi Nomor 84 Tahun 2013 tentang Mekanisme Rekruitmen Pelaut.

2.
Mempekerjakan Anak
1.       Pasal 68 – 75 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.       Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age For Admission To Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja);
3.       Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning The Prohibition And Immediate Action For Elimination Of The Worst Forms Of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan Dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak);
4.       Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
5.       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentangperlindungan Anak.

3.
Pengabaian Hak-Hak Normatif
1.       Pasal 90 Jo. Pasal 185 – upah dibawah upah minimum provinsi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.       Peraturan Pemerintah Nomor 78 tentang Pengupahan;
3.       Pasal 78 ayat 1 – upah lembur Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
4.       Kepmen Nomor 102/MEN/VI/2004. Tentang. Waktu Kerja Lembur Dan Upah Kerja Lembur;
5.       Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
6.       Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia di Industri Perikanan;
7.       Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia di Industri Perikanan;
8.       Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
9.       Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
10.   Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan;
11.    Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan Di Perairan.

4.
Lemahnya pengawasan dan perlindungan buruh migran
1.       Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri;
2.       Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia;
3.       PeraturanKepala BNP2TKI Nomor 03/KA/1/2013 tentang Mekanisme Penempatandan Perlindungan TKI Pelaut;
4.       Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor 12/KA/IV/2013 tentang Mekanisme Rekruitmen dan Penempatan serta Perlindungan Pelaut di Kapal Berbendera Asing.


D.       Strategi Advokasi Buruh Perikanan

Dalam perjuangan advokasi menuju perubahan kebijakan, dibutuhkan suatu strategi advokasi yang komprehensif. Jalan advokasi menuju kepada perubahan kebijakan memang cukup panjang dan melelahkan, maka dibutuhkan peran serta seluruh stakeholder, yang menjadi aktor utama barang tentu adalah korban itu sendiri dalam hal ini adalah buruh-buruh perikanan. Berikut gambaran startegi advokasi yang dapat kita tempuh ke depan:

1.       Membuat Analisa Awal

Analisa awal ini dibuat ketika mendapatkan laporan atau informasi mengenai kasus pelanggaran-pelanggaran hak yang dialami oleh buruh perikanan di masing-masing basis atau tingkatan perusahaan. Diperlukan sebagai untuk membuat perencanaan, modal sebelum menentukan penelusuran lebih lanjut ataupun memutuskan mengambil suatu kasus atau tidak.

2.      Bentuk Lingkar Inti

Lingkar inti: orang-orang yang memiliki kesamaan visi dan tidak diragukan integritasnya, di mana suatu tim kerja yang siap bekerja purna waktu dan solid. Mereka yang nantinya akan memegang kendali selama advokasi tersebut dijalankan.

Lingkaran inti dalam advokasi ini antara lain, jejaring serikat buruh, federasi bahkan konfederasi baik ditingkatan kawasan, daerah dan nasional, jejaring lawyer, organisasi non pemerintah (Ornop), Lembaga Bantuan Hukum, tokoh masyarakat, dll.

Dalam lingkar inti dilakukan pembagian peran dan tugas (koordinator, motivator/propagandis, analis, pencari data, penyusun taktik strategi, pemantau keseluruhan proses dll). Dalam proses pembentukan lingkar inti, sangat penting untuk kuatkan korban. Korban harus ditransformasikan menjadi pembela hak.

3.      Kumpulkan Data dan Informasi

Setelah mendapatkan informasi awal adanya suatu pelanggaran hak-hak buruh perikanan di basis atau tingkatan perusahaan, maka informasi atau data tersebut haruslah ditelusuri atau dikumpulkan.

Informasi atau data terdiri dari: kronologi peristiwa, bentuk pelanggaran, kerugian korban, jumlah korban, pelaku, pihak terkait lainnya, dan tindakan negara/pemerintah. Prinsip 5W1H (What, Who, When, Where, Why, dan How) dapat digunakan.

4.      Analisis data

Analisis data terdiri dari:
a.       Menentukan akar masalah
b.      Melihat analisa hukum dan sosial
c.       Tujuan
d.      Sasaran
e.       Pemetaan aktor (Menganalisa siapa aktor yang pro, kontra, dan netral dalam kasus yang ditangani)
f.        Analisa SWOT

Catatan: Kekuatan dan kelemahan sifatnya internal. Sedangkan peluang dan ancaman sifatnya eksternal.

Analisis data ini dapat berupa pendapat hukum atau legal opinion untuk kebutuhan internal ataupun dipergunakan untuk kebutuhan eksternal antara lain, bahan untuk berargumentasi ketika mengahadapi lawan atau aparat penegak hukum, kebutuhan koresprodensi, menghadap ke berbagai lembaga-lembaga negara (misal: Komnas HAM, Kementerian terkait) dan lain sebagainya.

5.      Merancang Sasaran dan Strategi

Dalam merancang sasaran dan strategi dapat menggunakan tolak ukur SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic, Timely). Tepat sasaran, dapat diukur (ada indicator yang jelas bisa dipantau dan diketahui), dapat dicapai, realistis (aliansi advokasi ini mempunyai kemampuan dan sumberdaya), dan memiliki batasan waktu.

6.      Membangun Jejaring

Jejaring kerja sama antara lain NGO lokal – nasional – internasional, Lawfirm, media, pemerintah, DPR, sesama korban, tokoh, dan ormas. Jejaring ini dilakukan dengan harapan meringankan beban kerja, meningkatkan solidaritas, dan menguatkan daya tawar. Contoh kerja sama dalam jejaring kerja antara lain membagi tugas dalam riset, kampanye, dll.

7.      Pengorganisiran dan Pelibatan Masyarakat

Dalam advokasi kebijakan diperlukan upaya perluasan gerakan dan informasi kepada publik, di mana opini publik yang terbangun menjadi sangat massif dan menjadi perhatian khusus dari masyarakat, pemerintah maupun penegak hukum.

Ada beberapa kegiatan yang dilakukan untuk membangun opini publik tersebut, seperti: memperluaskan gerakan ke beberapa basis/perusahaan, ke daerah-daerah, membuat posko pengaduan pelanggaran hak-hak buruh perikanan baik di daerah maupun pusat, diskusi publik yang bertemakan perlindungan dan advokasi hak-hak buruh perikanan dengan mengundang berbagai stakeholder, melakukan pendidikan hak-hak buruh perikanan di basis-basis dan lain sebagainya.

Inti dari pengorganisiran buruh dalam advokasi kebijakan ini adalah pendidikan yang partisipatif untuk mengugah kesadaran buruh untuk menegakkan hukum perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh di sektor perikanan dan advokasi sejumlah masalah pelanggaran hak-hak normatif di lingkungan kerja mereka.

8.      Pengumpulan Dana

Advokasi membutuhkan modal yang cukup besar. Sumber: Iuran rutin masing-masing anggota aliansi, sponsor, donatur, membuat unit usaha, dan lain sebagainya.

9.      Memilih Langkah Advokasi

a.      Litigasi

Sejumlah kasus-kasus yang telah terhimpun nantinya akan dilaporkan ke Kepolisian di tingkatan Provinsi dan prosesnya harus dikawal hingga laporan tersebut disidangkan di Pengadilan Negeri setempat.

Bagi kasus-kasus yang berdimensi hubungan industrial, maka prosesnya adalah melalui jalur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

b.      Non litigasi

Menggunakan mekanisme diluar saluran hukum formal yang tersedia antara lain: Korespondensi/surat menyurat, musyawarah, petisi, unjuk rasa, konferensi pers, audiensi dengan pihak lembaga negara, kampanye nasional maupun internasional dan lain sebagainya

c.      Mekanisme Internasional

Yaitu menggunakan saluran internasional untuk melaporkan permasalahan yang sedang didampingi bekerjasama dengan aliansi atau jaringan internasional, misalnya melaporkan kasus-kasus tersebut ke PBB dll.

10.   Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut

Advokasi merupakan proses yang tidak singkat sehingga diperlukan evaluasi terus menerus dan rencana tindak lanjut yang sesuai hasil evaluasi dan tepat sasaran. Setiap rencana dan pelaksanaannya selalu ada positif dan negatifnya.

Tahapan dan strategi di atas tentunya tidak bersifat mutlak, tergantung dari situasi dan kondisi kasus yang dihadapi. Kejelian dari Aliansi dalam memetakan situasi ekonomi politik itu menjadi keharusan. Misalkan saja hambatan yang sering terjadi dalam advokasi kebijakan adalah pejabat-pejabat di berbagai lembaga telah berganti orang, contoh: pergantian Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Kelautan dan Perikanan dan KAPOLRI.



[1] Tulisan ini disampaikan oleh Wirdan Fauzi, S.H., sebagai bahan diskusi di Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
[2] Djojo Suwardjo, dkk., Kajian Tingakat Kecelakaan Fatal, Pencegahan dan Mitigasi Kecelakaan Kapal- Kapal Penangkap Ikan yang Berbasis Operasi Di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan Dan PPS Cilacap, Jurnal Teknologi Perikanan & Kelautan Universitas Pertanian Bogor Vol. 10, No.1 tahun 2010, hlm.61-62.
[3] Gurdun Petursdottir, Olafur hannibalson dan Jeremy MM. Turner, 2001, Safty At Sea as an Integral Part of Fihseries Management. Food and Agriculture Organization of The United Nation, dikutip dalam Djojo Suwardjo, dkk., Kajian Tingakat Kecelakaan Fatal, Pencegahan dan Mitigasi Kecelakaan Kapal- Kapal Penangkap Ikan yang Berbasis Operasi Di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan Dan PPS Cilacap, Jurnal Teknologi Perikanan & Kelautan Universitas Pertanian Bogor Vol. 10, No.1 tahun 2010, hlm. 62.
[4] Sulaiman Zuhdi Manik dkk, Pekerja Anak Di Sektor Perikanan di Provinsi Nagroe Aceh Darussalam, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Center for Study and Child Protection Banda Aceh, 2006. Hlm 42.
[5] Ibid., Hlm 47.

Pembuktian Sederhana Dalam Permohonan Kepailitan Dan PKPU

  Bahwa di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“ UU Kepailitan dan PKPU ”) tidak mengatur asas pembuktian secara sederha...