PENGABAIAN DAN
PELANGGARAN
HAK BURUH
PERIKANAN INDONESIA[1]
A.
Pendahuluan
Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor
ekonomi yang memiliki peranan dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya
dalam penyediaan bahan pangan protein, perolehan devisa dan penyediaan lapangan
kerja. Dalam sektor perikanan sumberdaya manusia, modal dan teknologi menempati
posisi yang sangat strategis dalam mewujudkan tersedianya barang dan jasa.
Pemerintahan Joko Widodo mengeluarkan kebijakan program
strategis untuk membangun industri perikanan yang dituangkan dalam Peraturan
Presiden No. 3 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri
Perikanan Nasional sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden No. 7
Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.
Industrialisasi di sektor perikanan yang dicanangkan oleh
Pemerintah tersebut semata-mata hanya berorientasi kepada percepatan pertumbuhan ekonomi dari sektor
perikanan, namun masih minim terhadap perlindungan hukum bagi buruh yang
bekerja di perusahaan-perusahaan penangkap ikan baik perusahan dalam negeri
maupun perusahaan perikanan asing.
Jumlah buruh yang bekerja di sektor perikanan terhitung
sebanyak 12 juta orang, namun yang tersertifikasi hanya 44.300 orang. Kondisi
mereka begitu rentan akan pelanggaran hukum, dimana menurut Kementerian Luar
Negeri Indonesia, untuk periode 2010-2015, Pemerintah Indonesia membantu 2.368
nelayan Indonesia di luar negeri yang telah mengalami kejahatan terkait IUU.
Kasus utama yang dialami oleh Nelayan Indonesia adalah perselisihan perburuhan
(1148 kasus), penyelundupan manusia (833 kasus), Perdagangan Manusia (287
kasus), penangkapan ikan ilegal (94 kasus) dan penyalahgunaan narkoba (6
kasus).
Dalam tulisan ini, penulis hendak memaparkan temuan
pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang dialami oleh buruh di sektor perikanan,
bagaimana aspek perlindungan ketenagakerjaan hukum bagi buruh perikanan, dan
strategi advokasi ke depan menjawab permasalahan ketenagakerjaan buruh
perikanan.
B.
Temuan
Pelanggaran
Temuan Penulis atas pelanggaran ketenagakerjaan di sektor
perikanan, sangat masif dan terstruktur. Dimensi pelanggaran tersebut mengarah
kepada praktek kejahatan, jika saja dilihat dari ragam tindakan pelanggaran
yang dilakukan.
1.
Karakteristik
Pelanggaran Sistem Kerja Kontrak
Ada dua hal utama pelanggaran ketenagakerjaan yang dilakukan
disoal sistem kerja buruh perikanan di antaranya:
a. Perjanjian kerja
yang tidak menguraikan hak-hak buruh perikanan;
b. Para buruh
perikanan dominan bekerja di posisi pekerjaan inti;
c. Kontrak kerja
para buruh perikanan ini juga sering berulang-ulang dengan jenis pekerjaan dan
tempat bekerja yang sama.
Pelanggaran lainnya dalam hal penerapan sistem kerja kontrak ini berupa eksploitasi jam kerja.
Mereka bekerja rata-rata di atas 14-18 jam sehari. Meski hari libur nasional,
para buruh perikanan tetap bekerja normal dan tanpa dibayarkan uang lemburnya.
Para buruh perikanan juga tidak diberikan hak cuti, serta bekerja tanpa di
dukung oleh peralatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
International Labour Organization (ILO) telah
mengidentifikasi perikanan komersial sebagai pekerjaan yang berbahaya dengan
tingkat kecelakaan dan kematian yang sangat tinggi di dunia.[2]
Pekerjaan pada kapal penangkap ikan ini memiliki resiko yang tinggi karena
berada di laut dengan kondisi cuaca yang tidak menentu, bersifat kotor
dikarenakan berhadapan dengan ikan yang mudah membusuk, menggunakan berbagai
alat penangkapan ikan, dan lokasi penangkapan ikan yang selalu berpindah-pindah
hingga jangkauan wilayahnya akan sangat luas yang melampaui batas-batas
teritorial suatau negara bahkan sampai kelaut lepas. Besarnya jangkauan wilayah
kerja tersebut mengakibatakan lamanya pelayaran kapal-kapal penangkap ikan
bervariasi. Lamanya masa pelayaran kapal-kapal ini di pengaruhi juga oleh
ukuran kapal yang digunakan. Kapal berukuran kecil biasanya hanya berlayar satu
hari sedangkan kapal besar bisa berlayar hingga berbulan lamanya.[3]
2.
Mempekerjakan
Anak
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 mengungkapkan bahwa
jumlah anak di Indonesia dengan kelompok umur 5–17 tahun sebesar 58,8 juta
anak, dengan 4,05 juta anak atau 6,9 persen di antaranya dianggap sebagai
anak–anak yang bekerja. total tersebut, sejumlah 1,76 juta anak atau 43,3
persen adalah pekerja anak dan 20,7 persennya bekerja pada bentuk–bentuk
pekerjaan terburuk.
Berdasarkan observasi lapangan, wawancara dengan kepala desa,
panglima laot, tokoh masyarakat dan jumlah rumah tangga perikanan dalam data
statistik perikanan Propinsi NAD tahun 2005, jumlah anak-anak yang terlibat
dalam berbagai aktifitas di sektor perikanan di tujuh kabupaten lokasi
penelitian diperkirakan mencapai + 2.000-4.000 orang. Dari jumlah tersebut
1.000-1.500 orang dapat dikategorikan pekerja anak dimana sekitar 500-750
bekerja dalam kategori jenis pekerjaan terburuk untuk anak (the worst forms of
child labor).[4]
Sedangkan untuk tingkatan pendidikan mereka, tamatan Sekolah
Dasar sebanyak 198 orang, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 81 orang, Sekolah Menegah Atas (SMA) sebanyak
71 orang dan Tidak sekolah sebanyak 285 orang.[5]
3.
Pengabaian dan
Pelanggaran Hak Normatif
Meski sudah menjadi hak dasar, tidak jadi jaminan hak-hak
normatif para buruh perikanan dengan mudah diperoleh atau diberikan.
Dalam temuan Penulis, mendapati adanya pengabaian dan
pelanggaran hak-hak normatif buruh perikanan. Berikut ini karakteristik pelanggaran
hak normatif yang dialami oleh buruh-buuruh perikanan diantaranya:
a. Upah murah/di
bawah Upah Minimum;
b. Upah lembur dan
cuti yang tidak diberikan;
c. Hak atas K3;
d. Tidak ada
istirahat;
e. BPJS
Ketenagakerjaan dan Kesehatan tidak diberikan.
4.
Lemahnya
Pengawasan dan Perlindungan Buruh Migran Perikanan
Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tenaga kerja Indonesia yang bekerja di kapal
perikanan asing berturut-turut pada tahun 2011 sebanyak 4.371 orang, 2012
sebnyak 5.123 orang, 2013 sebanyak 5.559, 2014 sebanyak 4.810 orang, dan tahun
2015 (hingga Februari) sebanyak 5.116 orang telah di tempatkan bekerja di kapal
berbendera asing di luar negeri dari 30 negara di dunia.
Menurut catatan buruh migran persoalan yang dialami oleh ABK
asal Indonesia yang bekerja di kapal asing 92% dialami oleh ABK yang bekerja di
kapal ikan dan hanya 8% dialami oleh mereka yang bekerja di kapal niaga.
Kasus-kasus yang sering menimpa ABK indonesia ini diantaranya: kecelakaan, perkelahian,
perdagangan manusia, disharmonisasi dengan kapten kapal, tidak terpenuhinya
hak-hak, dan terjadi tindak kekerasan.
Kementerian Luar Negeri dan perwakilan RI per-September 2015
kasus ABK yang ditangani terkait masalah pidana tahun 2012 sebanyak 542 kasus,
tahun 2013 sebnyak 280 kasus, tahun 2014 sebanyak 147 kasus, dan tahun 2015
sebanyak 121 kasus. Perdata tahun 2012 dan 2013 masing-masing satu kasus,
keiimigrasian tahun 2012 sebanyak 159 kasus, tahun 2013 sebanyak 64 kasus, 2014
sebanyak 87 kasus dan tahun 2015 sebanyak 7 kasus. Ketenagakerjaan tahun 2012
sebanyak 445 kasus, 2013 sebanyak 280 kasus, 2014 sebanyak 233 kasus, dan 2015
sebanyak 77 kasus.
C.
Analisis Aspek
Hukum
Dari aspek yuridis, kasus perburuhan di sektor
perikanan bisa disimpulkan telah melanggar aturan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang ada. Hal ini dapat dilihat dari berulangnya kejadian
serupa di berbagai perusahaan perikanan baik dalam negeri mapupun luar negeri.
Kondisi lemahnya penegakan hukum, seolah juga
melegitimasikan tindakan segenap pengusaha-pengusaha di sektor perikanan ini.
Sehingga, mereka beramai-ramai melakukan pelanggaran serupa di bidang
perburuhan.
Berikut hasil kajian penulis soal aturan hukum yang
telha banyak dilanggara oleh perusahaan-perusahaan di sektor perikanan:
No.
|
Jenis Pelanggaran
|
Peraturan Perundang-Undangan yang Dilanggar
|
1.
|
Pelanggaran sistem kerja kontrak
|
1.
Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 59
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011;
3.
Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor
7/PUU-XII/2014;
4.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor
96/PUU-XI/2013;
5.
Permenaker No. 33 Tahun 2016
tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan
6.
Kepmennakertrans No.
100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu;
7.
Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 42 tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal
Perikanan;
8.
Peraturan Kemenhub dan Transportasi
Nomor 84 Tahun 2013 tentang Mekanisme Rekruitmen Pelaut.
|
2.
|
Mempekerjakan Anak
|
1.
Pasal 68 – 75 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang
Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age For Admission To
Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja);
3.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang
Pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning The
Prohibition And Immediate Action For Elimination Of The Worst Forms Of Child
Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan Dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak);
4.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak;
5.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentangperlindungan Anak.
|
3.
|
Pengabaian Hak-Hak Normatif
|
1.
Pasal 90 Jo. Pasal 185 – upah
dibawah upah minimum provinsi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 78
tentang Pengupahan;
3.
Pasal 78 ayat 1 – upah lembur
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
4.
Kepmen Nomor 102/MEN/VI/2004.
Tentang. Waktu Kerja Lembur Dan Upah Kerja Lembur;
5.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja;
6.
Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 35 tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi
Manusia di Industri Perikanan;
7.
Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 2 tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi
Hak Asasi Manusia di Industri Perikanan;
8.
Undang-Undang No 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
9.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran;
10.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
2000 tentang Kepelautan;
11.
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010
tentang Angkutan Di Perairan.
|
4.
|
Lemahnya pengawasan dan perlindungan buruh migran
|
1.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri;
2.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017
tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia;
3.
PeraturanKepala BNP2TKI Nomor
03/KA/1/2013 tentang Mekanisme Penempatandan Perlindungan TKI Pelaut;
4.
Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor
12/KA/IV/2013 tentang Mekanisme Rekruitmen dan Penempatan serta Perlindungan Pelaut
di Kapal Berbendera Asing.
|
D.
Strategi Advokasi
Buruh Perikanan
Dalam perjuangan advokasi menuju perubahan kebijakan,
dibutuhkan suatu strategi advokasi yang komprehensif. Jalan advokasi menuju
kepada perubahan kebijakan memang cukup panjang dan melelahkan, maka dibutuhkan
peran serta seluruh stakeholder, yang menjadi aktor utama barang tentu adalah
korban itu sendiri dalam hal ini adalah buruh-buruh perikanan. Berikut gambaran
startegi advokasi yang dapat kita tempuh ke depan:
1.
Membuat Analisa
Awal
Analisa awal ini dibuat ketika mendapatkan laporan atau
informasi mengenai kasus pelanggaran-pelanggaran hak yang dialami oleh buruh
perikanan di
masing-masing basis atau tingkatan perusahaan. Diperlukan sebagai untuk membuat
perencanaan, modal sebelum menentukan penelusuran lebih lanjut ataupun
memutuskan mengambil suatu kasus atau tidak.
2.
Bentuk Lingkar
Inti
Lingkar inti: orang-orang yang memiliki kesamaan visi dan
tidak diragukan integritasnya, di mana suatu tim kerja yang siap bekerja purna
waktu dan solid. Mereka yang nantinya akan memegang kendali selama advokasi tersebut
dijalankan.
Lingkaran inti dalam advokasi ini antara lain, jejaring
serikat buruh, federasi bahkan konfederasi baik ditingkatan kawasan, daerah dan
nasional,
jejaring lawyer, organisasi non pemerintah (Ornop), Lembaga Bantuan Hukum,
tokoh masyarakat, dll.
Dalam lingkar inti dilakukan pembagian peran dan tugas
(koordinator, motivator/propagandis, analis, pencari data, penyusun taktik
strategi, pemantau keseluruhan proses dll). Dalam proses pembentukan lingkar
inti, sangat penting untuk kuatkan korban. Korban harus ditransformasikan
menjadi pembela hak.
3.
Kumpulkan Data
dan Informasi
Setelah mendapatkan informasi awal adanya suatu pelanggaran
hak-hak buruh perikanan di basis atau tingkatan perusahaan, maka informasi atau data
tersebut haruslah ditelusuri atau dikumpulkan.
Informasi atau data terdiri dari: kronologi peristiwa, bentuk
pelanggaran, kerugian korban, jumlah korban, pelaku, pihak terkait lainnya, dan
tindakan negara/pemerintah. Prinsip 5W1H (What, Who, When, Where, Why, dan How)
dapat digunakan.
4.
Analisis data
Analisis data terdiri dari:
a. Menentukan akar
masalah
b. Melihat analisa
hukum dan sosial
c. Tujuan
d. Sasaran
e. Pemetaan aktor
(Menganalisa
siapa aktor yang pro, kontra, dan netral dalam kasus yang ditangani)
f.
Analisa SWOT
Catatan: Kekuatan dan kelemahan sifatnya internal. Sedangkan
peluang dan ancaman sifatnya eksternal.
Analisis data ini dapat berupa pendapat hukum atau legal
opinion untuk kebutuhan internal ataupun dipergunakan untuk kebutuhan eksternal
antara lain, bahan untuk berargumentasi ketika mengahadapi lawan atau aparat
penegak hukum, kebutuhan koresprodensi, menghadap ke berbagai lembaga-lembaga
negara (misal: Komnas HAM, Kementerian terkait) dan lain sebagainya.
5.
Merancang Sasaran
dan Strategi
Dalam merancang sasaran dan strategi dapat menggunakan tolak
ukur SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic, Timely). Tepat
sasaran, dapat diukur (ada indicator yang jelas bisa dipantau dan diketahui),
dapat dicapai, realistis (aliansi advokasi ini mempunyai kemampuan dan
sumberdaya), dan memiliki batasan waktu.
6.
Membangun
Jejaring
Jejaring kerja sama antara lain NGO lokal – nasional –
internasional, Lawfirm, media, pemerintah, DPR, sesama korban, tokoh, dan
ormas. Jejaring ini dilakukan dengan harapan meringankan beban kerja,
meningkatkan solidaritas, dan menguatkan daya tawar. Contoh kerja sama dalam
jejaring kerja antara lain membagi tugas dalam riset, kampanye, dll.
7.
Pengorganisiran
dan Pelibatan Masyarakat
Dalam advokasi kebijakan diperlukan upaya perluasan gerakan
dan informasi kepada publik, di mana opini publik yang terbangun
menjadi sangat massif dan menjadi perhatian khusus dari masyarakat, pemerintah
maupun penegak hukum.
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan untuk membangun opini
publik tersebut, seperti: memperluaskan gerakan ke
beberapa basis/perusahaan, ke daerah-daerah, membuat posko
pengaduan pelanggaran hak-hak buruh perikanan baik di daerah maupun
pusat, diskusi publik yang bertemakan perlindungan dan advokasi
hak-hak buruh perikanan dengan mengundang berbagai stakeholder, melakukan pendidikan
hak-hak buruh perikanan di basis-basis dan lain sebagainya.
Inti dari pengorganisiran buruh dalam advokasi kebijakan ini
adalah pendidikan yang partisipatif untuk mengugah kesadaran buruh untuk
menegakkan hukum perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh di
sektor perikanan dan
advokasi sejumlah masalah pelanggaran hak-hak normatif di lingkungan kerja
mereka.
8.
Pengumpulan Dana
Advokasi membutuhkan modal yang cukup besar. Sumber: Iuran
rutin masing-masing anggota aliansi, sponsor, donatur, membuat unit usaha, dan
lain sebagainya.
9.
Memilih Langkah
Advokasi
a.
Litigasi
Sejumlah kasus-kasus yang telah terhimpun nantinya akan
dilaporkan ke Kepolisian di tingkatan Provinsi dan prosesnya harus dikawal
hingga laporan tersebut disidangkan di Pengadilan Negeri setempat.
Bagi kasus-kasus yang berdimensi hubungan industrial,
maka prosesnya adalah melalui jalur Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
b.
Non litigasi
Menggunakan mekanisme diluar saluran hukum formal yang
tersedia antara lain: Korespondensi/surat menyurat, musyawarah, petisi, unjuk
rasa, konferensi pers, audiensi dengan pihak lembaga negara, kampanye nasional
maupun internasional dan lain sebagainya
c.
Mekanisme
Internasional
Yaitu menggunakan saluran internasional untuk melaporkan
permasalahan yang sedang didampingi bekerjasama dengan
aliansi atau jaringan internasional, misalnya melaporkan kasus-kasus tersebut ke
PBB dll.
10.
Evaluasi dan
Rencana Tindak Lanjut
Advokasi merupakan proses yang tidak singkat sehingga
diperlukan evaluasi terus menerus dan rencana tindak lanjut yang sesuai hasil
evaluasi dan tepat sasaran. Setiap rencana dan pelaksanaannya selalu ada
positif dan negatifnya.
Tahapan dan strategi di atas tentunya tidak bersifat mutlak,
tergantung dari situasi dan kondisi kasus yang dihadapi. Kejelian dari Aliansi
dalam memetakan situasi ekonomi politik itu menjadi keharusan. Misalkan saja
hambatan yang sering terjadi dalam advokasi kebijakan adalah pejabat-pejabat di
berbagai lembaga telah berganti orang, contoh: pergantian Menteri
Ketenagakerjaan, Menteri Kelautan dan Perikanan dan KAPOLRI.
[1] Tulisan ini disampaikan oleh
Wirdan Fauzi, S.H., sebagai bahan diskusi di Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan (KIARA).
[2] Djojo Suwardjo, dkk., Kajian
Tingakat Kecelakaan Fatal, Pencegahan dan Mitigasi Kecelakaan Kapal- Kapal
Penangkap Ikan yang Berbasis Operasi Di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan Dan PPS
Cilacap, Jurnal Teknologi Perikanan & Kelautan Universitas Pertanian Bogor
Vol. 10, No.1 tahun 2010, hlm.61-62.
[3] Gurdun Petursdottir, Olafur
hannibalson dan Jeremy MM. Turner, 2001, Safty At Sea as an Integral Part of
Fihseries Management. Food and Agriculture Organization of The United Nation,
dikutip dalam Djojo Suwardjo, dkk., Kajian Tingakat Kecelakaan Fatal,
Pencegahan dan Mitigasi Kecelakaan Kapal- Kapal Penangkap Ikan yang Berbasis
Operasi Di PPP Tegalsari, PPN Pekalongan Dan PPS Cilacap, Jurnal Teknologi
Perikanan & Kelautan Universitas Pertanian Bogor Vol. 10, No.1 tahun 2010,
hlm. 62.
[4] Sulaiman Zuhdi Manik dkk, Pekerja
Anak Di Sektor Perikanan di Provinsi Nagroe Aceh Darussalam, Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak (PKPA) Center for Study and Child Protection Banda Aceh,
2006. Hlm 42.