Minggu, 29 Oktober 2017

PROBLEMATIKA PEMBORONGAN PEKERJAAN DAN PENYERAHAN JASA PEKERJA DI INDONESIA



A.   Pendahuluan

Praktek penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang dikenal di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua), yaitu pemborongan pekerjaan dan penyerahan jasa pekerja atau yang lebih populer disebut dengan outsourcing. Dua sistem penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diatur dalam Pasal 59 dan Pasal 64 s/d Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).

Praktek penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan ini menuai banyak kritik karena hal ini merupakan wujud nyata pengaruh kebijakan Pasar Kerja Fleksibel (PKF) yang bertujuan membebaskan pasar kerja dari berbagai hambatan terhadap mekanisme pertukaran di pasar yang berpotensi menimbulkan pasar tidak sempurna. Secara sederhana, Pasar Kerja Fleksibel adalah sebuat situasi yang para pelaku pasarnya-pencari dan pemberi kerja- berada dalam posisi sejajar dalam melakukan pertukaran.

Pada prakteknya, PKF menyebabkan munculnya precarious work yang merupakan konseptualisasi dari bentuk-bentuk pekerjaan yang rentan dan tidak stabil. Seharusnya PKF diberlakukan ketika syarat utama, yaitu kebijakan pasar tenaga kerja aktif dan jaminan sosial yang baik sudah dibangun oleh Pemerintah.

Pada tahun 2010 muncul uji materi UU Ketenagakerjaan terkait praktek penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang diputus melalui Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011. Uji materi ini dilakukan karena terjadi banyak pelanggaran ketenagakerjaan, diantaranya kontrak kerja yang melebihi ketentuan Pasal 59 ayat 1 UU Ketenagakerjaan dan pekerjaan yang dialihdayakan menyimpang dari ketentuan Pasal 65 ayat 2 dan Pasal 66 ayat 1 UU Ketenagakerjaan. Pelanggaran-pelanggaran ini berlangsung secara sistematis tanpa ada upaya pengawasan efektif dari Pengawas Ketenagakerjaan.

Menyikapi putusan MK tersebut, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi membuat Peraturan Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (“Permenakertrans 19/2012”) dan Surat Edaran Menakertrans No 4 Tahun 2013 tentang pedoman pelaksanaan permen tersebut (“SE Menakertrans 4/2013”).

Permenakertrans 19/2012, mengatur di antaranya:
1.    Persyaratan Pekerjaan yang dapat dilakukan Pemborongan;
2.    Kewajiban Asosiasi sektor usaha membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan sektor usaha masing-masing;
3.    Persyaratan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh dan Jenis Pekerjaan yang dapat dilakukan;
4.    Mekanisme Pengawasan.

Hal-hal yang diatur dalam Permen ini menimbulkan praktek diskriminasi yang menambah kedudukan buruh yang bekerja pada “pekerjaan yang dapat dialihdayakan” semakin rentan karena hak-hak ketenagakerjaannya semakin terlanggar. Oleh karena itu, tulisan ini hendak memaparkan analisa singkat atas Permenakertrans 19/2012 yang menimbulkan dampak negatif di sektor ketenagakerjaan.


B.    Analisis Hukum

1.    Persyaratan Pekerjaan Yang Dapat Diborongkan Dan Kewajiban Asosiasi Sektor Membuat Alur Kegiatan Proses Produksi

Pasal 3 ayat 2 Permenakertrans 19/2012 mengatur pekerjaan yang dapat diborongkan, yang pada intinya ketika pekerjaan ini tidak dilaksanakan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Namun yang patut disayangkan, pemerintah meminta asosiasi sektor usaha yang harus membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sesuai sektor usaha masing-masing.

Pasal 4
1)    Asosiasi sektor usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c harus membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sesuai sektor usaha masing-masing.
2) Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan proses pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir serta memuat kegiatan utama dan kegiatan penunjang dengan memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).”

Penentuan oleh asosiasi sektor usaha patut dikritisi karena:
a.   Asosiasi cukup dengan menyepakati bersama alur produksi suatu sektor usaha dan hasil kesepakatan tersebut dianggap berlaku oleh dinas ketenagakerjaan setempat;
b.   Tidak ada verifikasi dari pemerintah selaku representasi negara untuk menguji apakah alur produksi tersebut benar-benar dibuat dengan prinsip akademis dan  akuntabilitas atau subyektif pengusaha untuk mengejar efisiensi modal;
c.     Tidak ada standar atau pengawasan dalam pembuatan alur produksi yang dilakukan  oleh pemerintah;
d. Asosiasi memiliki kemerdekaan memutuskan kehendak yang otonom, sehingga verifikasi apakah sektor usaha inti diklasifikasikan menjadi sektor penunjang tidak dapat dilakukan.

Karena itulah penentuan alur produksi untuk menentukan sektor inti dan penunjang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan serikat pekerja dan perguruan tinggi yang terdepan dalam bidang tersebut. Dengan metode yang valid dan dapat diverifikasi, keputusan mengklasifikasikan sektor inti dan penunjang dapat menjamin nasib buruh yang bekerja di sektor tersebut. Bukan lagi atas kemauan pengusaha yang secara otonom melakukan penggolongan pekerjaan sesuai keingingannya meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.

Hal ini sejalan dengan makna dari hubungan industrial itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 16 UU Ketenagakerjaan, dimana dalam suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah.

“Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

2. Munculnya Peluang Outsourcing Penyedia Jasa Pekerja Melalui Mekanisme Pemborongan Pekerjaan

Dalam Permenakertrans 19/2012 ini juga menimbulkan peluang, dimana pekerjaan yang dialihdayakan juga dilakukan dengan mekanisme pemborongan pekerjaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2:

“Pasal 3
1) Perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan.
2)  Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.  dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai peraturan perundang-undangan; dan
d.    tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.”

Akibatnya, peluang penyerahan sebagian pekerjaan melalui penyedia jasa pekerja (outsourcing) dibuka lewat pemborongan pekerjaan. Kedua jenis penyerahan sebagian pekerjaan ini punya norma yang berbeda dalam UU Ketenagakerjaan (pemborongan diatur dalam pasal 65 dan penyedia jasa pekerja dalam pasal 66), dimana pemborongan pekerjaan hanya untuk praktik pekerjaan yang menggunakan mekanisme pemborongan pekerjaan, bukan untuk outsourcing penyedia jasa pekerja.

Di dalam Permenakertrans ini menimbulkan peluang pemborongan pekerjaan dapat dilakukan untuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan melalui penyedia jasa pekerja.

3.    Diskriminasi 5 sektor usaha yang dapat dialihdayakan lewat mekanisme penyedia jasa pekerja

Pasal 17 ayat 3:
Kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.”

Penentuan 5 sektor usaha ini menjadi sangat diskriminatif karena dirumuskan secara baku dalam pengaturan ini tanpa kajian lebih lanjut tentang jenis-jenis usaha yang saat ini berkembang di masyarakat. Misalkan di sektor perbankan, tanpa ada security yang menjamin transaksi di bank akan aman, pasti akan terjadi perampokan merajalela di bank-bank yang beroperasi dan mengganggu kegiatan inti bank dalam memberikan pelayanan. Oleh karena itu, penentuan 5 (lima) jenis pekerjaan ini sangat diskriminatif dan mematikan peluang karir pekerja yang seharusnya dapat terus meningkat.

4.    Lemahnya Pengawasan Oleh Pengawas Ketenagakerjaan

Dalam Permenakertrans dan Surat Edaran ini juga menekankan adanya pengawasaan secara administrasi oleh Pengawas Ketenagakerjaan mulai dari pelaporan pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Jo. Pasal 6 Permenakertrans 19 tahun 2012:

“Pasal 5
Jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan harus dilaporkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan.”

“Pasal 6
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mengeluarkan bukti pelaporan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui pemborongan pekerjaan paling lambat 1 (satu) minggu sejak pelaporan dilaksanakan oleh perusahaan pemberi pekerjaan.”

Disini terlihat peran Pemerintah hadir dalam melakukan fungsinya sebagai pengawas dalam penerapan praktis sistem penyerahan sebagian pekerjaan (alih daya) dengan secara seksama mencermati pelaporan yang diajukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan terkait jenis pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan.

Namun, dalam praktiknya selama ini di lapangan ini menjadi permasalahan yang ditimbul dikemudian hari, dimana Pengawas Ketenagakerjaan lemah dalam melakukan pengawasan atas laporan pengajuan tersebut, yang seharusnya Pengawas Ketenagakerjaan tersebut harus ketat dan mengecek secara seksama apakah sudah tepatkah jenis pekerjaan yang diajukan untuk dapat dialihdayakan tersebut memang benar jenis pekerjaan penunjang. Disamping itu Pengawas Ketenagakerjaan juga harus bertindak tegas terhadap penyelewengan terkait praktik outsourcing itu sendiri.

Pengawasan secara administrasi diawali dengan kewajiban melaporkan kondisi ketenagakerjaan oleh perusahaan sesuai dengan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. Dari dokumen laporan ini kemudian dilakukan pemeriksaan ke perusahaan. Apabila dalam pemeriksaan di perusahaan ditemui pelanggaran norma penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain maka pengawas ketenagakerjaan menerbitkan nota pemeriksaan yang memerintahkan perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan dalam batas waktu yang ditetapkan. Apabila batas waktu yang ditetapkan perusahaan tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan penyelesaiannya melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

Berdasarkan ketentuan pada Bab V Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE.4/Men/III/2013, sanksi yang dikenakan terhadap perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku adalah pencabutan izin operasional perusahaan tersebut oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi berdasar rekomendasi dari kabupaten/kota. Dalam hal ini maka operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh di wilayah kerja kabupaten/kota yang bersangkutan, dihentikan. Namun, perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tersebut tetap bertanggung jawab memenuhi hak-hak pekerja/buruh.


C.    Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang telah kami uraikan di atas, maka dapat kami tarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:

  1. Penentuan jenis pekerjaan yang dapat dialihkan melalui pemborongan oleh asosiasi sektor usaha dapat mengancam jaminan kesejahteraan sosial dan kepastian hak-hak ketenagakerjaan;
  2. Permenakertrans 19/2012 ini menimbulkan kerancuan praktek penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui penyedia jasa pekerja atau pemborongan pekerjaan;
  3. Penentuan 5 (lima) sektor usaha yang dapat dilakukan oleh penyedia jasa pekerja adalah bentuk diskriminasi yang dilegalkan oleh pemerintah;
  4. Lemahnya pengawasan oleh Pengawas Ketenagakerjaan terhadap pelaporan yang diajukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan terkait jenis pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan.


D.   Rekomendasi
Dengan melihat sejumlah analisis di atas, kami merekomendasikan agar Permenakertrans Nomor 19 tahun 2012 agar segera direvisi dan Surat Edaran Menakertrans Nomor 04 tahun 2013 tersebut agar dicabut.

Pembuktian Sederhana Dalam Permohonan Kepailitan Dan PKPU

  Bahwa di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“ UU Kepailitan dan PKPU ”) tidak mengatur asas pembuktian secara sederha...